Bagian 8 - Tuan kopi

80 10 1
                                    

Tuan kopi

Aku pernah mengelih, dia manis
Begitu legit, sampai membuatku meringis
Lesung yang tampak bukan sapaan elok
Melainkan sebuah keteguhan, saat terpojok

Hanya melihat, tanpa mendekat
Apalagi mendekap, diri masih beradat
Meski ingin kuberucakap, kutahan tuk diam
Biar dirimu yang menebak, laut tak akan kehabisan garam

Lalu, untuk apa kuucap ini?

Entah...


-Dari seseorang yang mengagumimu



☕☕☕



Keadaan kafe tidak begitu ramai. Selepas jam makan siang memang para pengunjung tidak begitu banyak, kecuali pada hari-hari besar atau bila ada perayaan tertentu.

Karena itu, aku pun tidak begitu sibuk. Paling hanya melayani beberapa pengunjung yang baru datang, mengantar makanan. Kadang juga aku membantu pekerja lainnya di dapur.

"Gi, antar pesanan meja nomor tujuh, gih."

Aku lekas datang ke pemilik suara, mungkin itu Mbak Mora, salah satu pelayan yang sudah cukup lama kerja di sini. "Iya, iya, Mbak. Sebentar," balasku.

"Mana, Mbak?" tanyaku sambil melihat beberapa kopi yang ada.

"Itu kopi hitam, yang espresso," jawabnya sambil mendorong padaku salah satu gelas kopi.

"Oh, iya, Mbak."

Aku mengambil salah satu gelas kopi yang disodorkan, menaruhnya di baki agar mudah di bawa. Kopinya masih sangat panas. Aromanya begitu tajam. Aku rasa, rasanya akan nikmat, karena baunya begitu menggugah. Tapi, sebenarnya aku tidak tahu rasanya bagaimana. Aku tidak pernah mencoba kopi seperti ini. Paling hanya kopi kemasan atau kopi toraja.

"Pesanan datang, kopi espresso satu. Silakan dinikmati."

Pria itu mendongak. Tampan. "Terima kasih," katanya sambil menyunggingkan senyum, memperlihatkan lesung pipinya. Manis, kataku dalam hati.

"Iya, sama-sama." Aku pun berbalik pergi ke dapur. Ada beberapa pesanan yang harus aku antarkan. Teman-teman yang lain mungkin juga sibuk membereskan piring-piring dan gelas-gelas yang bertumpuk, bekas pelanggan tadi. Ada banyak pekerjaan yang harus kukerjakan. Sungguh melelahkan.

☕☕☕

Satu setengah jam berlalu. Beberapa pekerjaan telah kuselesaikan. Piring-piring dan gelas-gelas sudah kubereskan, tertata rapi di nemari. Pengunjung pun sisa sedikit, hanya beberapa yang masih bertahan, duduk manis di tempatnya, yang lain telah pulang. Dan salah satu pengunjung yang masih di tempat duduk adalah... pria itu. Apa dia tidak ada pekerjaan sampai punya banyak waktu nongkrong di sini?

Sebenarnya dia tidak hanya duduk sambil menikmati kopi. Dia juga terlihat serius mengetik sesuatu yang aku tidak tahu apa itu. Betah sekali dia duduk. Apa bokongnya tidak sakit? Sudahlah, itu urusan dia, bukan urusanku. Lebih baik aku lekas mengerjakan tugasku.

"Anggi, tolong antarkan pesanan ini, ya," tutur Mbak Mora sambil menyodorkan padaku segelas kopi espresso.

"Di meja nomor berapa?" tanyaku.

"Nomor tujuh, yang kamu antar tadi," jawabnya.

Hah! Di meja pria itu lagi?!

"Pria itu pesan lagi?" tanyaku.

"Iya. Sudahlah, antarkan saja sana," jawabnya sambil sedikit mendorongku.

Ya sudah. Aku mengangguk, patuh. "Iya, iya," kataku sambil mengambil kopi dan meletakkannya di nampan.

Saat menuju meja pria itu, dia tampak masih sibuk mengetik sesuatu di laptop. Entah apa itu.

Saat aku telah sampai di mejanya, dia masih sibuk dengan kegiatannya mengetik, tidak sadar akan keberadaanku. Aku jadi bisa melihat wajahnya dengan leluasa, tanpa takut ketahuan.

"Jangan menatapku seperti itu. Nanti bisa bisa kamu melahapku hidup-hidup," ucap pria itu tiba-tiba.

Aku terpengarah. Asem. Ternyata aku ketahuan. Bagaimana ini, aku tidak mau ada laporan pada Masya, seorang pelayan baru di kafemu menatap pelanggannya seperti ingin memangsa, sampai membuat pelanggan terganggu. Kemudian aku mendapat surat pemecatan. Oh, tidak! Bahkan belum sebulan aku bekerja di sini. Aku belum terima gaji!

Sebaiknya aku cepat-cepat menaruh pesanan pria ini, kemudian buru-buru kabur. Tapi aku merasa... takut.

Aku jadi gugup. Tanganku gemetar. "In... ini kopinya, si... si... silakan dinikmati," kataku dengan sedikit takut.

Selepas itu, aku pun langsung bergegas pergi. "Jangan dulu pergi," tahannya.

Aku membalikkan badanku kembali, kemudian menatapnya. Dia masih melihat laptopnya. Lalu, untuk apa dia memanggilku, menahanku di sini?

"Seperti kopi. Hidup sebenarnya pahit. Dengan begitu banyak orang-orang brengsek yang mengacaukan hidup kita. Dirasa memang tak enak. Namun jika kamu sudah terbiasa, kamu akan merasakan begitu nikmat meneguk getirnya hidup," katanya

"Apa?" tanyaku

Aku terdiam. Berpikir. Apa maksudnya bicara begitu. Kita belum saling mengenal sebelumnya.

"Tidak. Lupakan saja," katanya, kemudian melanjutkan kesibukannya. Mengabaikan aku yang masih menatapnya bingung. Dia terlihat sedikit aneh.

Atau mungkin, dia benar-benar aneh?




☕☕☕





Mohon masukannya...

Sobat seperjuangan Zayfanhuer 6035_ty pnlsabal

ScottLehnsherr95

Penunjuk jalan Choco_latte2 rebel_hurt MeAtWonderland

MosaicRile blueincarnation Hldrsd

Pembimbingku spoudyoo WindaZizty TiaraWales spoudyoo

Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang