Kudapati dirimu
Kau seperti kodok, datang tiba-tiba, tak tertebak
Kau ada di saat tak terduga, bercakap aneh, tak tertebak
Kau berceloteh soal kehidupan, tapi aku tak mengerti, kau tak tertebak
Kau menyambutku, entah kenapa, kau memang tak tertebakSaat kurasa diri begitu semu
Kudapati dirimu
Yang melontarkan sapaan, juga senyum manis
Aku tersipu, gembira rasanya, meski bekas luka masih terasa
Namun kau tepiskan lara, membawa hal baru yang terbatas masaSaat aku lupa akan kedudukanku, bisakah kau biarkan aku menjadi tak tahu diri.
-Dari seseorang yang mengharapkan kebersamaan
🐸🐸🐸
Secara umum, bosan didefinisikan sebagai suatu emosi manusia yang merasakan hilangnya perasaan, kurang stimulasi, atau hilangnya minat. Bahkan minat untuk hidup, hingga manusia ingin bunuh diri.
Entah itu karena kejenuhan. Karena suatu pekerjaan yang dikerjakan secara terus menerus. Tapi bukan aktivitas yang wajib kita lakukan. Seperti bernapas, istirahat, makan dan lainnya. Kalau kita bosan melakukan hal-hal tersebut, mungkin kita sudah tidak ingin hidup, berharap segera berada di sisi-Nya. Benar, bukan?
Suatu aktivitas yang dimaksud bisa berupa mengerjakan aktivitas tambahan atau suatu kewajiban sebagai pekerja atau pelajar. Seperti mengerjakan tugas, bekerja paruh waktu, ya, kira-kira seperti itu.
Cara mengatasinya dengan menghentikan sementara waktu aktivitas tersebut. Kita butuh sesuatu yang baru, menyegarkan pikiran dan tubuh, begitu.
Ke dua, bosan karena kesepian. Hah, hal ini pasti perna dirasakan semua manusia, termasuk aku. Rasa kesepian yang menjerumus pada rasa bosan. Sungguh tidak menyenangkan. Rasa bosan seperti ini terjadi pada orang-orang yang memiliki rasa sosial yang tinggi.
Satu tips agar rasa bosan itu hilang adalah dengan tidur, atau mencari sesuatu, entah itu teman, pacar sahabat untuk diajak mengobrol, membahas suatu hal, atau melakukan suatu aktivitas menyenangkan bersama.
Beberapa bulan berlalu. Aku merasa bosan dengan kegiatan di kafe. Entah karena apa. Padahal semuanya terlihat menyenangkan. Tidak perbedaan antara senior, junior di tempat kerjaku. Seperti apa yang biasa terjadi. Tapi aku merasa jenuh dengan legiatan yang itu-itu saja.
Saat di kerjaanku telah usai, aku memutuskan berjalan-jalan. Melihat keadaan sekitar, mungkin bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa bosanku.
Aku berjalan-jalan di dekat jalan raya. Jalan di sini begitu ramai dan padat, berbanding dengan di Tomohon, atau Bitung. Mungkin karena ini adalah Ibu Kota, mangkanya begitu banyak kendaraan yang melintas.
Dan yang paling tidak aku senangi di sini adalah udaranya. Tercampur dengan asap kendaraan dan asap pabrik. Sangat tidak mengenakkan. Aku jadi rindu Kota Tomohon. Yang begitu asri, dengan udara yang segar, pemandangan indah untuk memanjakan mata. Begitu menyenangkan sekali.
Saat berjalan-jalan, tak terasa aku sampai di sebuah jembatan besar. Kalau tidak salah, jembatan di Jakarta Selatan ini tempat di mana banyak orang-orang yang tidak memiliki rumah menetap. Melindungi mereka dari terpaan sinar mentari, dan juga hujan lebat yang sering mengguyur. Lalu, saat air naik karena besarnya volume hujan yang ada, di mana mereka akan menetap?
Kasian sekali mereka. Harusnya orang-orang yang mampu bersyukur dengan apa yang mereka miliki. Setidaknya mereka memiliki tempat berlindung. Rumah yang sederhana namun memiliki banyak manfaat.
Saat ini, kebanyakan orang-orang tidak merasa puas dengan apa yang mereka miliki. Ingin mendapat lebih, hingga merebut hak-hak orang lain. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin melarat. Kira-kira seperti itu yang sering aku dengar.
Saat melihat orang-orang di jembatan itu, aku menemukan pria itu. Pria kopi yang pernah berkata aneh padaku. Atau aku saja yang berkhayal. Aku menyipitkan mata, agar dapat melihat dengan jelas siapa saja di sana. Ya, tidak salah lagi. Itu si pria kopi!
Dia sedang mengajar pada anak-anak di kolong jembatan sana. Mereka terlihat bersemangat sekali. Terpancar dari wajah-wajah ceria anak-anak berpakaian lusuh, compang-camping itu.
Aku mendekat, sampai dua meter di dekatnya, pria itu menatapku. Dia tersenyum kemudian melambaikan tangan, dia memanggilku. Aku menengok ke kanan, ke kiri. Kemudian aku menunjuk diriku. Dia menganggukkan kepala. Ah, berarti benar dia memanggilku.
Aku mendekat sambil tersenyum. "Hai," sapaku.
"Hai, kemarilah," balasnya. Ya Tuhan, dia memanggiku. Benar-benar aku. Tidak salah lagi. Untuk apa dia memintaku ke sana? Ah, sudahlah lebih baik aku ke sana saja dulu, supaya bisa tahu apa yang diinginkan.
Aku pergi ke tempatnya, di mana banyak anak-anak menatapku.
"Bantu aku mengajar ya," katanya. "Ayo Buk guru, perkanalkan dirimu," sambungnya. Loh, apa-apaan ini. Huaaaa, aku dilibatkan di sini.
"Hah," aku cengo. Memandangnya dengan wajah penuh tanya, dengan mulut sedikit terbuka, sangat tidak enak untuk dilihat. Semoga dia tidak merasa tidak enak dekat denganku.
Dengan cepat aku merubah raut wajahku. "Hai, adek-adek, perkenalkan nama kakak, kak Anggi, salam kenal ya.""Halo, kak Anggi," sapa anak-anak dengan gembira. Mereka melambaikan tangan padaku.
Aku merasa senang, mereka mau menerimaku dengan baik. Tidak ada raut permusuhan atau ketidaksukaan yang mereka tunjukkan. Yang ada wajah polos dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
Selepas itu, kami bersama-sama melewati hari. Begitu menyenangkan sekali. Aku dapat melenyapkan rasa bosanku.
Aku ingin terus begini.
Tapi, apa bisa?
🐸🐸🐸
Mohon masukannya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi
ChickLitYang diinginkan tidak selalu akan ada. Yang kau harapkan pun belum tentu akan terjadi. Seperti meneguk kopi, kau akan merasakan nikmat dan candu di waktu bersamaan. Hingga efeknya menjalar dalam diri. Namun kau tak tahu pasti bukan rencana Tuhan?