Bagian 13 - Hati yang tak pasti

32 6 1
                                    

Hati yang tak pasti

Tak ada yang ingin tergelincir
Apalagi tuk kesekian kali
Namun, rasa itu terus mengalir
Terus dan terus menggali

Tapi, semua masih absolut
Semua tak jelas, gelap
Kau pun tak juga menyahut
Dan hatiku buram, berasap

Semua tak jelas
Tetapi, rasa itu ada


🐸🐸🐸


Aku mencuri pandang pada pengunjung-pengunjung kafe. Ah, sudah jam begini, ke mana dia? Sampai sekarang belum datang juga. Padahal biasanya waktu begini dia telah duduk manis di meja pelanggan. Dan yang paling aku ingat meja andalannya, meja nomor 7. Mungkin ada sesuatu yang berarti di balik angka 7, yang tidak aku ketahui apa.

Saat mengantarkan pesanan-pesanan pun aku masih sempat-sempatnya melirik-lirik meja lain, dan yang pastinya, meja nomor 7. Tapi, dia tidak ada. Meja itu diisi oleh pengunjung lain.

Ke mana dia?

"Ini pesanan meja nomor 12, tolong diantar, ya," tutur kak Mona sambil memberikan salah satu minuman di sebuah nampan.

Aku dengan cepat menerima nampan itu. "Iya, Mbak," jawabku, kemudian segera pergi ke meja pelanggan.

Kutengok kanan, kiri, dia masih tidak ada. Huh. Di mana dia. Dan... ada apa dengannya. Eh, atau aku yang sedang bermasalah?

"Ini pesanannya. Silakan dinikmati, saya permisi ya," kataku pada salah satu pelanggan pria.

Dia tersenyum menerima pesananku. "Iya, terima kasih, ya." Pria itu kemudian lanjut dengan kegiatannya, dan aku kembali ke dapur dengan menengok kanan kiri.

Kalau ditunggu-tunggu tidak ada. Tidak dinanti selalu datang tiba-tiba. Eh, atau... mungkin aku yang semakin sering memikirkannya.

Huh, begitu rumit.

Aku kemudian mengambil handphone dari saku celana. Kuketik sesuatu.

To: Pak Angga
Kamu di mana? Kenapa tidak kelihatan beberapa hari ini?

Send


🐸🐸🐸


Handphone-ku tak kunjung berbunyi. Dia di mana? Kenapa tidak menjawab pesanku? Bahkan pesanku tidak dia baca. Uhh, aku jadi gelisah.

Gelisah akan dia di sana. Juga diriku yang tak jelas. Kenapa dari tadi terus saja memikirkannya, seperti tidak ada yang lain, yang harus aku pikirkan.

Kenapa?

Kenapa?

Kenapa?

Aku tidak tahu.

Bahkan aku tidak tahu ada apa dengan diriku. Seperti... aneh. Hmm, begitu tidak jelas. Dan... sangat tidak... pokoknya sulit dideskripsikan.

Aku jadi...

Bukkk

Suara dorongan pintu membuyarkan pikiranku. Kutengok siapa yang mengganggu aku dan lamuanku. Oh, ternyata Masya. Apa? Masya? Ada apa dengan anak itu?

Dia menuju ke arahku, kemudian dengan cepat menempatkan bokongnya di salah satu kursi di sebelahku. Wajahnya tidak bersahabat, dia murung, entah karena apa.

Dia menatapku. Bibirnya dimonyongkan. "Aku sebel, sebel, sebel! Pokoknya aku sebel! Ah, nyebelin!" katanya dengan wajah ditekuk.

"Hah?"

"Ihh, masa responnya cuman 'hah' tanya kek kenapa gitu. Ah, kamu mah gak peka! Sama aja kayak si doi!" Dia mengacak-ngacak rambutnya. "Gak kamu, gak dia, gak si bocah, sama aja. Au ah! Aku sedih," lanjutnya.

Hah? Anak ini kenapa coba? Aku masih belum mengerti. Dari dulu sampai sekarang dia tetap saja begini. Suka bicara tidak jelas. Uhh, dasar Masya!

"Tanyain dong kenapa," suruhnya padaku.

Hah? "Apa?" tanyaku.

Dia makin memanyunkan bibirnya. "Ya ditanyain kenapa sedih. Ihh, gitu aja masak gak tahu. Kan, kan, aku jadi makin kesel jadinya," rajuknya sambil membuang muka.

Huh, anak ini.

"Kenapa?" tanyaku dengan cepat

Dia mendumel. "Ihh, kok cuman pendek? Nanya kenapa kan gak pasti apa. Nanyanya yang jelas dong."

"Masya yang sedang sedih, kamu kenapa?"

"Aku tuh sedih. Masak si doi gak peka juga. Udah dikodein alus-alus, gak ditangkep. Sampe langsung ngerocos, gak dugubris. Maunya apa coba?"

Si doi punya Masya memang sangat cuek orangnya. Kalau Masya orangnya suka lucu, gebetannya malah sebaliknya. Tipe-tipe pria serius.

"Kurang keras kali kodenya," kataku sok tahu.

Masya tampak berpikir. "Hmm, mungkin. Jadi aku coba teriak-teriak aja gitu kali ya, supaya dia denger."

Hah? Ini apa lagi coba. "Maksudnya yang dikerasin kodenya, bukan suara kamu."

"Contohnya, gimana?"

"Tauk, ah. Pikir aja sendiri. Aku mau lanjut kerja."

Aku beranjak dari kursi, kemudian mulai berjalan ke luar dapur.

"Ih, ih. Kenapa aku ditinggalin gitu aja, Anggiiii!" Pekiknya.

Tidak kudengarkan apa yang dia bilang lagi. Masalahku saja belum jelas, masih mau ditambahi dengan memikirkan cinta-cinta punya orang.

Lebih baik aku kembali bekerja agar cepat selesai.

Kemudian melanjutkan yang tadi.

Soal hati yang tidak jelas.



🐸🐸🐸



Mohon masukannya.



Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang