Bagian 9 - Isyarat tak kasat mata

59 8 3
                                    

Isyarat tak kasat mata


Pernahkah kau tatap bulan, yang tak pernah kelam
Dia bercahaya, begitu terang saat gelapnya malam
Atau saat siang, dia berbinar tak takut tersaingi siang
Namun, tak banyak yang hiraukan dia, sungguh malang

Tapi, tahu kah dirimu, ada gejala di setiap gelagatnya
Itu pasti, meski banyak yang abai akan itu, tak bisa dipungkiri kebenarannya
Entah itu pasang surut air laut, bergantinya bulan atau lainnya, pasti kan ada
Dan ini khusus untuk jiwa-jiwa yang entah di mana berada

Mereka akan tahu nantinya
Entah saat itu terjadi, atau di mana mereka menyesalinya
Itu pasti, tak bisa dipungkiri, meski hati tak ingin dia hadir
Dia akan menyelip dalam hidupmu, dan biarlah dia mengalir

Sampai habis masanya...


-Dariku yang tak mengerti makna sebuah isyarat



🍵🍵🍵



Selepas bicara hal aneh itu, pria kopi espresso itu pun langsung bersikap biasa, seakan tidak ada hal yang perlu dijelaskan. Dia langsung melanjutkan kegiatannya, mengababaikan aku yang ingin meminta penjelasan dari apa yang dia katakan.

Aku rasa, aku tidak pernah mengenalnya sebelumnya. Melihatnya juga tidak perna. Awal perjumpaan kami ya saat di kafe itu. Sebelumnya kan aku di Tomohon. Apa dia pernah ke sana juga lalu melihatku? Atau? Entahlah...

Tapi aku terus saja memikirkan kata-katanya. Kata-kata yang aneh, tapi...

Mengisyaratkan sesuatu.

Yang entah apa.

Seperti kopi. Hidup sebenarnya pahit. Dengan begitu banyak orang-orang brengsek yang mengacaukan hidup kita. Dirasa memang tak enak. Namun jika kamu sudah terbiasa, kamu akan merasakan begitu nikmat meneguk getirnya hidup.

Kopi.

Kopi.

Kopi.

Kenapa harus kopi?

Kenapa tidak es krim, teh, jus, atau apalah.

Tapi, kopi.

Benar-benar aneh.

Mungkin karena dia suka kopi, terbiasa minum kopi, begitu. Dia tidak suka es krim seperti aku. Mungkin saja. Iya.

Kopi itu pahit, setahuku. Mangkanya, biasanya orang yang tidak suka pahitnya kopi menambahkan dengan gula. Supaya manisnya mendominasi. Jadi, pahit tidak terasa lagi.

Begitu, kan?

Itu kan hanya pendapatku saja, bagaimana dengan pendapat orang lain.

"Sya," panggilku pada Masya yang sedang sibuk dengan buku catatanya. Setiap harinya dia selalu mengunjungi kafe ini, melihat-lihat serta memantau segalanya.

"Ya. Kenapa?" Balasnya, sama sekali tidak mengalihkan pandangan matanya dari buku catatan, menulis-menulis sesuatu entah tentang apa.

"Menurutmu, apa itu kopi?" Tanyaku serius menanti jawaban Masya.

"Kopi itu... minuman."

Aku mengeluarkan napas dari mulut. Masya benar-benar... "Kalau itu aku tahu, siapa bilang kopi itu minyak buat masak. Ih, Masya ditanyain serius juga."

Masya mengalihkan pandangannya dari buku yang ditulis-tulisnya. "Kopi itu... buat begadang, buat jualan, buat lulur, buat masker. Buat apa lagi ya... ah, buat dirasa-rasa. Itu bukan?"

Aku mulai kesal, "ihhh, bukan itu maksudku, tau, ah. Aku nanya yang lain aja, udah lanjut aja kerjanya, gih," kataku sambil menatapnya sebal.

Di meliatku heran. "Lah, kan aku bosnya," tuturnya dengan muka polos, dia mengkedip-kedipkan mata lucu.

"Hooo, iya juga, ya. Aku lupa. Hahaha." Aku ketawa cengengesan. "Yaudah, aku pergi ke dapur dulu ya," tambahku kemudian dengan cepat meleset ke dapur. Mungkin aku bisa tanya-tanya sama yang lainnya di sana.

Saat di dapur ada beberapa orang pekerja di sana. Salah satunya Mbak Mora. Di sini aku memang paling dekat dengan dia. Perempuan berumur 25 tahun itu terlihat begitu dewasa, cerdas, wajahnya juga begitu cantik kalau dilihat-lihat, aku tidak menyangka dia sudah 25 tahun di saat pertama pertemuan kami.

Dia berambut panjang sepundak, terlihat sangat keibuan sekali. Benar-benar wanita idaman. Tapi, entah kenapa dia belum menikah sampai sekarang. Benar kata orang, wanita cerdas memang kemungkinan besar tidak akan menikah muda. Entah karena dirinya yang begitu pemilih, atau semua laki-laki enggan mendekatinya karena merasa rendah diri bersanding dengan wanita cerdas seperti Mbak Mora, atau? Entahlah.

Aku mendekat ke arahnya. Bertumpu pada salah satu meja di dapur.

"Mbak Mora, aku mau nanya," tanyaku

Dia melirikku sekilas. "Ya. Kamu mau tanya apa," balasnya kembali sibuk mengatur alat-alat untuk mengelola kopi.

"Menurut Mbak, apa itu kopi?" tanyaku dengan cepat.

"Kopi itu sejenis minuman," katanya. "Dan mungkin memiliki beberapa makna tersendiri bagi orang-orang tertentu," tambahnya.

Termasuk pria itu bukan? Batinku bertanya.

Mbak Mora menghembuakan napas perlahan. "Setiap orang memiliki pendapat sendiri mengenai kopi, Mbak gak bisa memberi suatu tanggapan yang pasti untuk hal ini, setiap individu memiliki pengertian tersendiri mengenai hal ini," tuturnya.

Aku masih serius menyimak Mbak Mora bicara. Benar, setiap orang memaknai sesuatu dengan berbeda, tergantung dengan pemikiran, pemahaman serta pengalamannya.

Tapi, ada satu hal yang ingin kutanyakan.

"Apa makna kopi menurut Mbak Mora?" tanyaku.

Dia terdiam untuk beberapa saat . Kemudian berkata sesuatu.

"Kopi itu... racun"

Aku menahan napas. Tersentak untuk sesaat.

Tapi, aku... belum bisa mencerna semuanya.



🍵🍵🍵

M

ohon masukannya...

Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang