Bagian 16 - Kepingan yang pecah

58 5 1
                                    

Kepingan yang pecah


Bila kau tak rasa filantropia seperti yang kupendam, bisakah sedikit saja kau jaga
Setidaknya kau biarkan rasaku melayang, meski kau tak ingin
Bukan kau buang, kau tendang seperti tak ada harganya
Dia pun ingin hidup layaknya seperti kebanyakan, bernapas meski kau tak harapkan

Kendati apa boleh buat, dia mati dengan tak layak
Tertumpuk di tengah bebatuan beruncing, diam tak berdaya
Dan kau makin menjadi, mulai menjaga jarak
Rasaku terhempas, jatuh, tergores, tak punya daya

Tapi kau tak hirau

Tetap berlaku sesuka hati

Dan amorku pecah, tak berbentuk


-Dari rasa yang berharap tiada


🐹🐹🐹


Semua telah berlalu.

Namun, kepingan ingatan soal penolakan yang diutarakan Mama Angga masih terngiang di kepalaku.

Kadang, penolakan tidak harus pada orang yang disukai. Bisa jadi keluarga, kerabat, teman dan hal itulah cobaan untuk sebuah hubungan. Yang bisa jadi membuat suatu hubungan merenggang, kemudian hancur. Sebenarnya cobaan terbesar bukan datang dari orang luar, tapi dari diri masing-masing.

Seperti yang aku alami sekarang.

Perasaanku dari awal sudah tidak enak. Dan sekarang makin ketar-ketir karena praduga yang tidak pasti.

Dan itu penyakit jiwa yang sulit kuhilangi.

Atau mungkin tidak bisa.

Setelah kejadian yang tidak diinginkan itu terjadi, Angga mengantarkan aku pulang. Tidak ada percakapan di antara kami. Semua larut dengan pikiran masing-masing. Selepas itu pun kami tidak berkomunikasi seperti dulu lagi. Mungkin hanya menanyakan kabar. Hanya itu. Aku rasa hubunganku dengannya sudah berubah.

Berubah makin memburuk.

ping

Ponselku berdering. Aku mengambilnya, kemudian membuka pesan. Ternyata pesan dari Angga.

Dari: Angga
Aku ingin bicara denganmu. Sore ini, di tempat biasa.

Dengan lekas aku membalas pesannya.

Untuk: Angga
Oke.

Kira-kira apa yang ingin dikatakan oleh dia?

Aku pun tidak tahu.


🐹🐹🐹


Apa yang didambakan jiwa hanya seonggok harapan. Bukan pencapaian. Sampai diperjuangkan. Itu pun belum pasti.

Semuanya abu-abu.

Tidak dapat ditebak.

"Hai," sapanya. "Sudah menunggu lama?" tanyanya membuka percakapan.

Aku mempersilahkannya duduk. "Tidak, baru sebentar, kok," jawabku.

Dan keadaan sunyi seketika. Tidak ada yang membuka percakapan. Semua diam. Mungkin dia sedang berpikir tentang apa yang ingin diucapkannya.

Dan aku hanya menunggu.

Menunggu apa yang akan diucapkannya.

Dan apa yang akan terjadi.

Nanti.

"Ehm." Aku berdehem. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyaku membuka percakapan.

Dia masih tampak berpikir. Menimbang-nimbang sesuatu.

Sampai beberapa menit kemudian.

Lalu, dia menghembuskan napasnya. "Sebaiknya kita tidak dekat lagi," tuturnya begitu saja.

Apa?

Apa yang dikatakannya?

Begitu, kah?

Aku tersenyum lirih.

Dan akhirnya aku merasakannya.

Lagi.

Setelah sebelumnya dihempas, kemudian hal ini kembali terulang.

Apa yang harus kuharapkan dari semua ini.

Akhirnya juga akan sama.

Menyedihkan.


🐹🐹🐹


Setelah Angga menyampaikan keinginan itu, beberapa saat kemudian aku pamit untuk kembali ke rumah.

Aku tidak bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan. Yang pasti itu tidak indah. Kisahku tidak seperti novel roman yang biasa orang-orang baca, kemudian mengkhayalkan hal tersebut.

Memimpikan.

Menaruhnya dalam harapan terpendam mereka.

Nyatanya, hidup tidak seindah itu. Tidak semudah yang dituliskan para penulis. Saat mereka menuliskan hal-hal indah, cerita indah dalam karya mereka, aku rasa itu untuk menghibur pembaca mereka.

Hidup itu sulit jika kita menyulitkan diri. Menganggap segalanya beban akan memberatkan diri.

Tapi, apa boleh buat jika pikiran tidak tersinkron dengan hati. Memang perasaan bisa dikendalikan?

Tidak ada yang mengharap rasa itu ada. Dia datang begitu saja. Tanpa dipanggil, tidak bisa dicegah. Sulit mengusirnya. Atau mungkin tidak bisa. Sampai terkadang orang bisa menghalalkan segala cara untuk meraihnya.

Tapi, tidak denganku.

Aku tidak seperti itu.

Aku ingin semua berjalan begitu saja, tanpa dipaksakan.

Dan bila kenyataan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, aku rela.

Biarlah semua berlalu begitu saja.

Bukankah aku punya keinginan yang belum kuperjuangkan. Lalu, kenapa harus memikirkan hal-hal yang tidak mungkin. Yang hanya membuat kita sakit.

Sangat tidak penting.



🐹🐹🐹



Mohon masukannya...


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang