Bagian 12 - Yang terselap

41 7 3
                                    

Yang terselap

Telah lama kuterlelap, tenggelam dalam mimpi yang menjerumus, terdampar, jauh
Di sana kau dekap aku, kau utarakan kata-kata indah, sampai aku makin jatuh
Tergelincir tak tahu diri, bersikap seakan yang terelok, tak tahu kah begitu usangnya diri?
Atau pura-pura tak tahu? Benar-benar tak tahu diri

Aku terjerat pesonamu, hingga terpelanting jauh kedalam jiwa
Di sana begitu bertumpuk mimpi-mimpi, sampai merasa melayang tak bernyawa
Aku bertanya di setiap malam, menjadikan dia cerita pengantar tidur, meski tanpa kata
Apa itu rekayasa? Bunga dari tidur berkepanjangan? Atau kah nyata?

Pikiran ini terlanjur tenggelam pada syair-syair indahmu
Adakah aku yang menghiasi malam, menjadi harap indahmu?
Di mana rasa itu tak kuasa kau tahan, dia menjelma menjadi rindu tak berkesudahan
Impian yang ingin diraih, pengharapan raga, jiwa yang mendamba, tak bisa lagi kutahan

Pandangan yang menerawang, jauh, namun tak jelas ke mana harus melangkah
Arus tak juga membawa kepastian, meski harap itu habis tak pernah
Di mana aku harus menanti bila hati itu tak kunjung pasti, dia membuat ingin, namun enggan memberi arah
Amorku pun tak kunjung berhenti, dan tak akan pernah diam meski kau marah

Biarlah dia bereaksi, kemudian menguasai tubuhmu, sampai kau tak terkendali
Lalu terpelanting seperti dulu? Semoga tidak, walau tingkahmu terus menggali

Biar dia berjalan
Sesuka hatinya, tapi jangan biarkan dia jatuh, lagi

-Dari yang tak ingin melukai diri



🐣🐣🐣


Sedari semalam memang aku menangis sejadi-jadinya. Aku kecewa pada Ando. Dia yang dengan begitu mudahnya melupakanku, lalu beralih pada wanita lain. Sebegitu tak berarti kah diriku?

Itu keputusanku pergih dari sini.

Ya, aku tahu itu.

Tapi, tak bisakah sedikit saja dia menjaga perasaanku?

Menjadi wanita memang tak enak. Terlalu didominasi oleh perasaan, mudah tersakiti. Dan merasa jatuh tanpa dialas apapun. Apalagi jika cinta bertepuk sebelah tangan. Tak akan dia pedulikan rasamu. Sungguh miris.

Di saat aku sedang berusaha menata hati yang dulunya diobrak-abrik oleh dia, dan dia dengan senangnya bergembira dengan yang lain. sangat tidak berperasaan.

Sudahlah.

Bagaimana pun bukan hakku mengaturnya. Dulu dan sekarang sama saja.

Aku tak akan pernah bisa meraihnya.


🐣🐣🐣


Dia tetap begitu meski telah berbulan-bulan kutinggal.

Dia masih dia yang sama. Sama-sama tak berperasaan.

Padahal sudah kulakukan yang terbaik agar dia sedikit saja menaruh hati padaku. Namun, tak ada dan tak akan pernah sekalipun ada. Ruang hatinya tertutup untukku.

Begitu teganya. Memang apa kurangnya aku untuknya.

Apa aku...

"Hei, kenapa melamun," tegur Angga sambil sedikit mendorong tanganku.

Awalnya aku kaget, tapi dengan cepat aku merubah raut wajahku. "Ah, tidak. Tidak apa-apa," kataku sambil mengulas senyum.

Dia menyipitkan mata, menatapku dengan intens. "Oh, ya?" tanyanya tak percaya. Dia ragu pada kebohonganku. Mungkin kali ini aku gagal mengelabuhinya.

Aku mencari cara agar dia tidak terus bertanya. "Sudahlah jangan bicarakan ini lagi. Untuk apa kamu di sini? Apa sudah tidak ada pekerjaan lagi di rumah sakit?" tanyaku berusaha merubah topik.

"Masih ada. Tapi nanti," jawabnya.

Sepertinya aku berhasil mengubah arah pembicaraan. Dan dia sepertinya tidak ingin membahas hal tadi lebih jauh. Syukurlah.

"Memang tidak boleh aku berkunjung ke kafe ini?" Dia menggodaku.

"Ehm, bukannya begitu sih, tapi, terserahlah," kataku bingung.

Ah, dia membuatku tidak bisa berpikir. Dia memang pandai mengolah kata, membalikkan kata dengan begitu mudah. Benar-benar kelebihan yang begitu menguntungkan. Aku harus belajar banyak. Agar bisa pintar seperti dia.

Aku harus berusaha. Jika dia bisa mencapai cita-citanya sampai sekarang mendapat pekerjaan yang baik. Aku tahu, tidak mudah menjadi orang berhasil seperti dia. Pasti pencapaiannya membutuhkan usaha yang sangat besar. Aku tahu dia sering kurang tidur. Tapi, dia tidak mau terlihat capek, lelah begitu sampai orang-orang tidak merasa kasihan padanya. Benar-benar orang yang mengagumkan.

Orang tuanya pasti bangga memiliki anak seperti dia.

Ah aku jadi iri padanya.

"Hei, melamun lagi," katanya kembali mengagetkanku.

"Aku sedang berpikir bukan melamun," sanggahku tidak membenarkan.

"Sanggahanmu tidak mempan," katanya. "Ehm, apa kamu mau ikut mengajar anak-anak?" lanjutnya.

"Hah?"

Apa dia bilang?

"Memang aku bisa?" tanyaku tidak yakin.

"Pasti bisa!" yakinnya padaku.

Benarkah aku akan bisa? Aku jadi tidak yakin. Tapi aku merasa ingin. Oh, sungguh membungungkan. Lalu, bagaimana dengan jawabanku?

Dengan mengiyakan, pasti aku bisa lebih dekat dengannya.

Aku tahu itu.

Itu pasti menyenangkan.

"Baiklah, aku mau," jawabku sambil mengulas senyum.

Kuharap semua akan berjalan dengan baik.

Semoga.


🐣🐣🐣


Mohon masukannya.



Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang