Di balik kesempurnaan
Banyak mata takjub, memandang dengan binar
Mereka memuja, seakan dia Tuhan, menganggap dia selalu benar
Mereka mengultuskan, tak kala mengabah, pilong afdal
Dipujanya dengan segenap jiwa, menggarap sang puan, sungguh abalDi balik itu terkatup sisi subal yang tak mereka tahu
Begitu bejat, hingga takut bila celangak mereka tahu
Begis, busuk, kotor, tercampur sampah menganga
Masihkah kau mengagungkannya?🐺🐭🐺
Aku menjauh dari Toko, berjalan dengan handphone di tangan. Tidak aku perhatikan jalanan. Sibuk mencari kontak Papa. Rasanya aku menyimpan di kartu SIM. Tapi aku lupa dengan nama apa. Papa, Ayah, Papak, Bapak, Bapak Negara atau apa. Aku benar-benar tidak ingat. Pokoknya aku harus bisa menghubungi Papa. Kalau tidak, di mana aku akan tinggal?
Tanpa aku sadari, aku menabrak pundak seseorang.
"Aduh!" rintihnya.
Pundakku pun terasa sakit. Lumayan nyeri. Aku mengusap-ngusapkan pundakku, berharap rasa sakitku kan hilang. "Aduh, maaf ya, Mbak," tuturku pada orang yang tadi kutabrak, yang entah siapa namanya.
"Apaan sih! Kalo jalan yang bener dong! Sakit ta--" katanya terhenti ketika melihat wajahku. "Kamu Jeje?" tanyanya.
"Hah. Jeje?" Aku kemudian berpikir. Jeje? Tidak semua orang bisa memanggilku dengan nama itu. Hanya seseorang, dan dia...
"Masya!" teriakku kemudian kami berpelukan. Tidak menghiraukan sekitar kami. Orang-orang memandang kami aneh. Berpelukan sambil melompat-lompat.
Aku sangat rindu dengan dia, sahabat kecilku. Kami selalu bersama-sama saat di Taman Kanak-kanak. Dengan mudah kita kenal, kemudian akrab.
Aku dan dia dulu menjalani masa kanak-kanak dengan gembira. Tidak kusangka dia sekarang begitu cantik dan imut. Dulunya dia gembul, pipinya sangat menggoda untuk dicubit. Waktu memang bisa merubah segalanya.
"Kamu ke mana saja? Aku kangen tahu. Pergi gak pamit-pamit. Gak sopan tau! Kataku sambil menatap Masya galak.
Dia menggigit bibir bawahnya. Kemudian mengkedip-kedipkan mata lucu. Tapi, aku tidak akan luluh dengan begitu mudahnya. Enak saja, mudah mendapatkan maaf dariku. Tidak bisa begitu, Nona.
"Handphone-ku hilang. Aku juga lupa nomor telponmu. Aku dan keluargaku juga buru-buru berangkat hari itu. Jadi, gak sempat kasih tahu kamu, Yang. Maafin aku ya."
"Alasan! Kalau begitu kenapa tidak menyuruh Mama atau Papamu menghubungi orang tuaku? Dan juga kenapa tidak memberi kabar sama sekali? Kamu gak sayang sama aku ya? Aku bertanya sambil menunjukkan raut sedih.
"Aku gak kepikiran. Hehehe," jawabnya. Sama sekali bukan alasan yang bagus. Kenapa kata 'lupa' sering digunakan sebagai alasan? Apapun itu kebanyakan alasan lupa-lupa. Sangat tidak kreatif!
Ah, sebaiknya aku sudahi saja acara marah-marah ini, kasihan juga kan dia. "Baiklah. Karena aku orang yang baik hati, rajin menabung dan tidak sombong, aku memaafkanmu. Jangan ulangi lagi ya."
Dengan cepat wajah imutnya yang tadinya sedih terganti dengan raut gembira. Senyumnya lebar sekali. "Makasih ya, Beb. Kamu yang paling, paling, paling pengertian deh. Aku sayang Bebeb Jeje," katanya, kemudian memelukku erat, sambil melompat-lompat."
"Iya. Iya. Iya," jawabku lantas ikut memeluknya. Aku benar-benar merindukan anak ini. Sudah sangat lama kami tidak bertemu. Saat kelas satu SMA, dia pergi begitu saja. Tidak ada informasi sama sekali mengenai dia. Nomornya pun tidak aktif. Sudah lama sekali aku mencari dia. Dan pada akhirnya kami dipertemukan di sini.
"Kamu baru di sini, Je?" tanyanya.
"Iya. Aku sedang mencari kontak Papaku, ada, tapi saat kuhubungi tidak aktif. Padahal hanya dia keluargaku di sini."
"Hei! Kamu melupakan aku ya?! Aku juga kan kerabat dekatmu. Jadi, bukan hanya Papamu saja yang bisa dimintai pertolongan. Jangan sungkan bicara padaku ya?"
"Iya, iya." Aku merasa beruntung sekali bisa dekat dengannya. Dari dulu dia begitu baik padaku.
"Kamu rencananya mau tinggal di mana? Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku saja?" tawar Masya.
Tinggal di rumah Masya. Rasanya aku sungkan. Tidak enak begitu. "Aku tidak mau merepotkanmu. Lebih baik aku cari kos-kosan saja."
"Kenapa berkata begitu? Aku malah senang kamu tinggal denganku."
"Tidak apa-apa. Aku cari kontrakan saja Masya."
"Baiklah kalau begitu. Aku tahu tempat kos-kosan yang bagus. Tapi tempat tinggalnya tidak begitu luas. Bagaimana?"
"Aku mau. Terima kasih, ya."
"Iya. Sama-sama." Masya tersenyum manis. Untung saja dia mau membantuku. Pasti kalau tidak ada dia aku akan kebingungan ke sana ke mari. Beruntung sekali aku mengenal Masya.
🐺🐭🐺
Masya dengan lahap menyantap cumi-cumi bakar yang baru saja kami pesan. Cara makannya sangat tidak cocok dengan penampilannya yang modis.
"Masya, makannya pelan-pelan. Awas loh keselek baru tahu rasa," kataku sambil menunjuk Masya dengan tangan cumi milikku.
Dia tidak menghiraukan nasihatku. Masih makan dengan begitu tidak... elit.
"Makanan kan kita yang bayar. Jadi suka-suka kita dong mau makan bagaimana," belanya dengan sambel yang menempel di bibirnya. Celemotan!
"Tapi, nanti kamu keselek. Masuk rumah sakit! Aku gak tanggung jawab ya. Takutnya aku dijadiin tersangka."
"Ih. Kamu lebay. Gak segitunya kali. Aku udah biasa makan kayak begini kok."
"Kamu ya, dibilangin gak denger-denger. Udah, ah. Lebih baik aku cari kerja aja daripada nasehatin kamu tapi gak mau denger."
"Kamu mau cari kerja? Kerja aja di kafe aku. Tapi cuman jadi pelayan. Gajinya lumayan kok. Gimana?"
Kerja apapun tidak masalah bagiku, yang penting halal. "Iya, iya, aku mau. Makasih ya, Sya."
"Iya. Apasih yang gak buat kamu."
"Ih, kok geli aku dengarnya."
"Geli gimana sih, Yang?"
Kemudian guyonan itu terus berlanjut. Sudah lama sekali kami tidak begini.
Begitu menyenangkan.
Bisakah terus begini?
🐺🐭🐺
Mohon masukannya...
Sobat seperjuangan Zayfanhuer 6035_ty pnlsabal
Penunjuk jalan Choco_latte2 rebel_hurt MeAtWonderland
MosaicRile blueincarnation Hldrsd
Pembimbingku spoudyoo WindaZizty TiaraWales spoudyoo
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi
أدب نسائيYang diinginkan tidak selalu akan ada. Yang kau harapkan pun belum tentu akan terjadi. Seperti meneguk kopi, kau akan merasakan nikmat dan candu di waktu bersamaan. Hingga efeknya menjalar dalam diri. Namun kau tak tahu pasti bukan rencana Tuhan?