Bagian 15 - Tertampar kenyataan

38 4 0
                                    

Tertampar kenyataan


Aku terlalu  berangan, jauh begitu dalam menyemat dalam diri
Jadi tak tahu diri, beranggapan semua akan baik, tak berpikir dengan naluri
Apa yang diharap tak selalu menjadi nyata, keadaan tak akan selalu membela
Lalu saat diri tertampar, hati teriris, perih, sungguh sakit, tetapi jiwa tak dapat menyela

Aku kembali jatuh...

Jatuh...


🐥🐥🐥



Aku duduk bersampingan dengan Angga. Di kafe tempat aku kerja. Pas sekali saat ini waktunya istirahat. Jadi, aku bisa mengobrol dengan Angga. Semakin lama, kami makin dekat saja.

Begitu menyenangkan sekali.

"Gik," panggil Angga.

Aku menoleh padanya. "Ya, kenapa?" tanyaku.

Dia terdiam sebentar. "Ehm..." dehemnya. "Aku ingin memperkenalkanmu dengan orang tuaku," katanya sambil menatapku.

Aku tertegun. "Hah?" Aku tidak begitu mengerti arah pembicaraannya. Untuk apa aku berkunjung ke rumahnya? Berjumpa dengan orang tuanya pula.

Aku rasa hubungan kami masih... biasa saja. Tidak ada sesuatu yang spesial. Meskipun ada rasa di setiap masing-masung dari kami.

Tapi, tetap saja, hubungan kami masih jalan di tempat. Tidak ada pembicaraan serius di antara kami berdua.

Tahu sendiri kan kalau laki-laki mengajak wanita ke rumahnya. Apalagi memperkenalkan kepada orang tua. Berarti ada sesuatu yang spesial di antara kedua insan tersebut.

Ando saja tidak pernah mengajakku ke rumahnya.

Apalagi memperkenalkan aku kepada orang tuanya.

Padahal kami sudah cukup lama kenal. Sudah tiga tahun.

Tapi... ah, aku tidak mau berpikiran yang aneh-aneh. Anggap saja Ando hanya ingin memperkenalkan temannya pada orang tuanya. Teman? Hahaha. Ya, mingkin saat ini masih begitu.

Ya, anggap saja begitu.

Jangan berpikir lebih. Daripada nantinya kita dilempar kenyataan, kemudian merasakan sakit. Lagi. Ya, kira-kira begitu.

Namun, hal itu harus aku tanyakan. "Untuk apa?" tanyaku.

"Untuk memperkenalkan pada orang tuaku, mau ya?"

Aduh, bagaimana ini. Apa harus aku iyakan atau aku tolak?

"Hmm... tapi, aku takut," jawabku.

"Tidak usah takut. Kan ada aku," katanya sambil tersenyum manis.

Mungkin hal ini bisa kucoba. "Ya, baiklah," jawabku ragu.

Akankah semua berjalan dengan baik?

🐥🐥🐥

"Ayo keluar," panggilnya Angga.

Aku gemetar, takut. Aduh aku benar-benar gugup sekarang.

"Aku pulang saja, ya," jawabku.

Dia terkekeh. "Masa baru sampai sudah mau pulang," katanya masih terkekeh geli.

"Kita tidak mungkin, kan akan berdiam diri terus di sini," tuturnya. "Ayo kita pergih," sambungnya.

Dia keluar dari mobil. Kemudian, membukakan pintu untukku. "Ayo," katanya.

Aku mengambil napas, kemudian menghembuskannya perlahan. "Ayo," jawabku.


🐥🐥🐥


Keringat dingin membanjiri tubuhku. Aku gugup, sangat.

Rumahnya cukup besar. Ah, ralat, bukan cukup, tapi benar-benar besar dan begitu mewah.

Dan sekarang, aku sedang duduk di depan Mama Angga. Seorang wanita sosialita, ya yang aku lihat seperti itu.

"Angga, apa kau yakin benar wanita ini," kata Mama Angga sambil menilai penampilanku.

Memangnya kenapa dengan penampilanku. Kupikir biasa saja. Ah, aku lupa. Mereka kan orang kalangan atas, jadi wajar saja begitu.

Tapi, jujur saja aku tidak suka dia seperti itu.

"Iya, Mama. Dia wanita yang kuceritakan itu," tutur Angga.

Mama Angga menganggukkan kepala, tidak melepaskan pandangan dariku. "Sampai di mana pendidikanmu?" tanya Mama Angga.

Kenapa bertanya soal itu?

"Aku lulusan SMA, Tante" jawabku dengan pelan.

Aku takut.

Perasaanku tidak enak.

Dan artinya, akan ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Entah apa itu.

Mama Angga tersenyum mengejek. "Kamu yakin Angga orang seperti dia pantas masuk ke dalam keluarga kita," kata Mama Angga.

Napasku tertahan. Rasanya seperti tertampar. Kan, sudah kuduga.

"Mama, tidak boleh berkata begitu," tegur Angga.

"Memang begitu, kan," jawab Mama Angga dengan enteng.

Aku menahan diri. Begitu merasa terpukul dengan apa yang dikatakan Mama Angga.

Begitu... pedas.

Kenapa harus menilai seseorang dari penampilan, pendidikan. Apa sudah merasa diri lebih baik, sampai dengan beraninya merendahkan orang lain? Setinggi apa derajatnya sampai bertingkah seperti Dewa. Apa sudah merasa diri setara dengan Tuhan?

Dan sekali lagi aku merasa suatu penolakan. Merasa tertolak untuk yang sekian kalinya.

Aku menggigit bibir bawahku. Aku merasa sakit. Hatiku seperti tertusuk. Begitu perih.

Jadi, sudah jelas kan semua.

Aku tidak diterima oleh orang tua Angga.

Penolakan memang tidak selalu membawa gembira. Membuat tersadar, rendah akan diri.

Harus kah ini terjadi, lagi?


🐥🐥🐥


Mohon masukannya...

Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang