Sudah lebih dari setahun aku bersekolah di SMA ini, sekarang tahun ajaran baru lagi dan aku kini menjadi murid kelas dua. Kehidupan SMAku selama menjadi junior di sini cukup tenang. Aku belum pernah terlibat perkelahian yang serius, untungnya.
Syal merah yang kuterima setahun yang lalu itu masih menggantung di dalam lemari kamarku. Aku belum pernah mencucinya sama sekali semenjak pemiliknya melemparkannya padaku. Aku tidak punya kesempatan untuk mengembalikannya kepada pemilik semestinya, aku belum punya kesempatan. Kami berada di kelas yang berbeda dan ketika kami beberapa kali berpapasan dia bersikap sangat biasa saja, seolah dia tidak pernah bertemu atau berbicara denganku. Aku jadi tidak tahu harus berbuat bagaimana, jadi syal itu kusimpan saja.
Dia tidak pernah berubah seperti saat pertama kali aku melihatnya. Kehadirannya memberikan aura yang menenangkan. Diam-diam aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Dia suka menyendiri tapi bukan orang yang dikucilkan. Dia jarang tersenyum tapi begitu tersenyum senyumannya memabukkan. Dia jarang berbicara, tapi begitu berbicara ucapannya setenang dan setegas ombak di laut. Entah kenapa aku justru menjadikannya pusat perhatianku.
Pagi itu, aku memasuki kelas baruku. Di sana, dia di sana. Duduk manis membaca buku di samping jendela sambil sesaat membenarkan kaca matanya. Aku belum pernah melihatnya berkaca mata dan sekarang melihatnya berkaca mata seperti itu membuatku menyadari bahwa dia juga mungkin manusia biasa sepertiku.
Kursi sebelahnya masih kosong dan aku sudah memutuskan di mana tempatku berada. Aku duduk di sebelahnya, berusaha tidak menimbulkan suara apapun untuk mengimbangi ketenangannya. Aku mencium bau yang familier, bau yang sama seperti syal merah yang tergantung di dalam lemariku. Aku sangat ingin menoleh dan memandangi dirinya, tapi aku berusaha menahannya. Bel masuk berbunyi dan begitulah, sama sekali tidak terjadi apa-apa.
Sudah hampir seminggu dan selalu seperti itu, tidak ada apa-apa, tidak ada obrolan, kontak mata, atau apapun, padahal kami adalah teman sebangku. Aku kesal sebenarnya, dia terlalu tenang, terlalu hening.
Suatu hari, ada teman sekelas kami yang saling bertengkar, itu adalah kedua anak perempuan paling cerewet di kelas kami. Dari adu mulut yang samar-samar aku dengar, mereka mempersoalkan masalah laki-laki. Dasar jalang, aku berani taruhan bahwa laki-laki yang mereka rebutkan itu tidak hanya mendekati mereka berdua.
Siswa di sampingku menutup buku bacaannya ketika pertengkaran itu sedang memanas. Untuk pertama kalinya, dia menoleh ke arahku. Tatapan matanya sama sekali tidak berubah seperti saat pertama mata itu menatapku.
"Dibunuh atau membunuh. Manusia itu saling membunuh." katanya.
Itu ucapan yang hampir sama seperti yang pernah ia katakan padaku waktu itu.
"Kau mau taruhan siapa yang akan memenangkan pertangkaran itu?" tanyanya.
Awalnya aku tidak percaya jika dia sedang berbicara padaku, tapi aku segera sadar dan membalasnya.
"Ya boleh juga." kataku. Sebenarnya aku tidak tertarik dengan pertengkaran semacam itu.
"Aku berani taruhan kalau gadis dengan rambut keriting gantung itu akan menjambak gadis berambut medium itu sebentar lagi." komentarnya.
Mereka itu teman satu kelas kami, seharusnya dia cukup menyebutkan namanya saja, kan?
"Setelah itu gadis dengan rambut medium akan menarik kerah baju gadis keriting gantung." balasku.
Aku akan mengikuti permainannya.
Apa yang baru saja kami katakan itu menjadi kenyataan. Kedua gadis itu menjadi saling menjambak rambut masing-masing dan saling menarik kerah baju masing-masing.
"Aku akan bertaruh pada si medium." katanya.
Aku tidak tertarik. Aku benar-benar muak.
"Hentikan!" seseorang berteriak.
Dia adalah Ai, gadis yang sebelumnya pernah satu kelas denganku. Dia adalah ketua kelas. Sial, ketua kelasku selama dua tahun berturut-turut adalah seorang perempuan.
"Hentikan, kalian berandalan!" teriaknya sambil menggedor meja. Kelas menjadi hening untuk sesaat, kemudian kedua gadis yang sedang bertengkar itu melanjutkan aksi saling jambak mereka lagi.
Ai berusaha melerai kedua gadis itu, tapi tentu saja dia tidak sanggup.
"Hei, kenapa kalian semua diam saja? Teman kalian ada yang bertengkar kenapa kalian semua tidak berbuat apa-apa?" teriaknya frustasi.
Memangnya kau mau aku memukul mereka atau bagaimana?
"Kalian berdua yang di sana! Cepat bantu aku melerai mereka!" teriaknya.
Jari telunjuknya mengarah pada bangku kami, bangku yang sekarang sedang kududuki. Sial!
"Kalian berdua adalah dua orang yang paling jarang berinteraksi dengan kami, jadi sekarang kuberi kalian kesempatan untuk membantuku, ayo cepat bantu aku!" perintahnya.
Dia ini kenapa, sih?
"Menyebalkan sekali ya? Mau cari udara segar?" tanya siswa di sebelahku. Suaranya masih setenang laut biru.
Dia keluar kelas dan aku mengikutinya. Ai di sisi lain sedang berteriak-teriak seperti ibu yang sedang mengomeli anak-anaknya.
"V! JK! Awas kalian!" teriaknya membuat gendang telingaku sakit.
***
Aku mengikuti V tepat di belakangnya. Dia belum mengucapkan sepatah kata pun semenjak keluar dari kelas.
Kami melewati mesin minuman.
"Mau minum wine?" tawarnya. Dia akhirnya membuka suara juga.
Apa yang baru saja dia katakan??!!
"Bercanda." katanya selanjutnya.
V mendekati mesin minuman dan mengambil dua botol cola, yang satu botol dia serahkan padaku kemudian dia naik ke lantai atas. Dia berhenti lalu bersandar pada salah satu jendela kaca yang ada di lantai itu, aku mengikutinya. Kami meminum cola kami masing-masing dalam keheningan.
"Kau lebih suka dibunuh atau membunuh?" tanya V.
Itu lagi.
"Tidak dua-duanya. Aku tidak suka membunuh apalagi dibunuh, aku lebih suka hidup tenang." jawabku.
Dia tersenyum sinis.
"Bukannya kau suka menggunakan tinjumu?" tanyanya.
Tahu dari mana dia soal tinjuku?
"Kenapa? Kau mau mencobanya?" tantangku.
Matanya tersenyum padaku. Mata seorang pembunuh.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRASIA [VKOOK] -- [Complete]
Mystery / Thriller"Dibunuh atau membunuh. Manusia itu saling membunuh." -V "Sekalinya kau percaya padaku, maka kau harus percaya padaku selamanya." -JK Suaranya hampir seperti bisikan, bisikan yang tegas. Tatapannya seperti jarum-jarum es. Langkah kakinya seperti ket...