3. Eyang

27 3 0
                                    

🎉🎉🎉

Eyang terlihat gembira siang ini. Pasalnya beberapa menit lalu, beliau baru saja mendapat telepon dari seseorang.
Rhea, anak dari sahabat Eyang.
Dia mengabarkan hari Minggu akan datang, sambil mengajak anaknya yang lulusan universitas di Inggris itu.
Bermaksud mengenalkan anaknya dengan Ayu.
Jadi Eyang harus menyiapkan semuanya. Terutama menelepon Ayu yang saat itu masih di Jogja, liburan akhir tahun bersama teman-teman kantornya.

"Yu, kamu cepet pulang ya!" Eyang mulai bicara lewat telepon rumah. Eyang masih telaten menggunakan fasilitas itu daripada harus memakai ponsel. Meskipun pada akhirnya tagihan bulanan akan membengkak karena Eyang hobi banget menelepon Ayu.

"Loh kenapa? Eyang sakit?" tanya Ayu khawatir.

"Eyang enggak apa-apa. Pokoknya kamu pulang aja. Minggu pagi mau ada tamu," ungkap eyang.

"Nah kan ada Eyang, Ayu pulang ntar hari Senin Yang, kan kemarin Ayu udah bilang." jelas Ayu.

"Enggak. Pokoknya kamu harus pulang. Eyang tunggu lho!" tukas eyang tegas.
Klik. Eyang sudah menutup teleponnya.

📞📞📞


Dulu Eyang punya sahabat karib, namun sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Mereka sempat membuat semacam janji, ingin terus menjalin kedekatan ini hingga ke anak cucu mereka.

Eyang Malika, memiliki satu anak perempuan, Rhea namanya.
Sedangkan Eyang Ratih memiliki tiga anak.
Erika, Dewi dan Rudi.
Kala itu Eyang Ratih ikut serta Eyang Muhtar ke Jakarta, anak-anak mereka terlahir di Jakarta, begitu juga dengan cucu-cucunya.
Setahun setelah Eyang Muhtar meninggal, Eyang Ratih meminta untuk kembali ke Surabaya. Hanya Rudi yang turut ke Surabaya, bersama istri dan anak sulungnya.

Lima tahun di Surabaya, anak kedua Rudi lahir. Namun kondisi istrinya tidak begitu baik. Istrinya hanya mampu bertahan satu bulan pasca melahirkan.
Jadi Eyanglah yang menjaga dan merawat anak-anak Rudi.
Mereka adalah Bagus dan Ayu.

Seiring berjalannya waktu banyak hal yang berubah. Termasuk dengan pola asuh orang tua terhadap pendidikan anak.
Eyang nggak mau disebut kolot oleh cucu-cucunya tapi Eyang juga tetap bersikap tegas dan disiplin terhadap mereka.
Selalu memberi jadwal harian yang wajib dilakukan, apalagi saat itu Rudi masih bekerja seharian diluar.

Eyang dibantu Bik Sumi, yang waktu itu masih perawan, dan selalu ikut Eyang kemanapun.
Menjadi anak-anak yang diasuh oleh Neneknya membuat mereka cucu yang paling dekat dan akrab daripada yang lain, Ayu terutama. Namun jangan harap mereka bisa manja, Eyang tidak pernah memanjakan mereka. Eyang menerapkan gift and punish buat mereka.
Selalu melatih untuk berusaha mendapatkan keinginan mereka dengan usaha yang benar dan sungguh-sungguh. Tidak berbuat curang, dan jujur. Itu ajaran dari Eyang.

Bagus memilih wirausaha dirumahnya, dengan bisnis petshop. Ada burung, kelinci, hamster, kucing, anak anjing, dan beberapa bisnis lain yang dia jalankan. Bersama istrinya yang kini tengah hamil 6 bulan, usahanya kian berkembang.
Dia cenderung penurut, sebagai Kakak dia lebih suka mengalah pada Ayu, apalagi saat mereka harus kehilangan sosok Ibu dalam usia balita. Kasih sayang yang dia dapatkan hanya dari Eyang dan Ayahnya.

Sedangkan Ayu, dia cenderung suka melawan. Waktu kecil Ayu terkenal bandel, tomboi dan galak. Tapi dia memiliki banyak teman dimana-mana.
Hobi hujan-hujanan, main-main diluar bersama Bagus dan teman-temannya, dan cenderung jadi pahlawan bagi teman-teman sebayanya.
Dan itu terbawa hingga dia dewasa, di cap cewek galak, sudah biasa bagi Ayu. Tapi sebenarnya dia baik, dan nggak pelit.

Kembali ke Eyang.
Menjadi janda seorang perwira membuat Eyang tidak perlu bersusah payah menjalani sisa hari tuanya.
Apalagi anak-anaknya juga sukses. Namun mereka tidak mengikuti jejak Eyang Muhtar untuk menjadi tentara seperti beliau dulu.
Erika begitu mengidolakan gurunya kala itu, jadi saat dewasa dia memilih menjadi guru. Dan anak-anaknya juga tidak jauh berbeda, Wina sebagai dosen muda di salah satu universitas swasta di Jakarta, Wildan menjadi guru olahraga di salah satu SMP Islam di Jakarta. Si bungsu Wenda, dia masih kuliah.

Sedangkan Dewi memilih jadi karyawan di salah satu perusahaan BUMN di Jakarta.
Hanya anak-anak dari Dewi saja yang memilih menjadi anggota TNI. Farhan dan Ardika.

Lalu Rudi, dari ketiga anak Eyang dia yang terkenal paling bandel dan semaunya. Mungkin karena dia anak laki-laki satu-satunya.

Namun itu tidak menjadi alasan bahwa dia tidak bisa menjadi orang sukses. Buktinya di usia 50 tahun dia memilih pensiun dini, dan memilih bekerja sendiri sebagai leader sebuah yayasan lembaga peternakan dan industri. Bayangkan menjadi PNS itu sebuah kebanggan tersendiri, namun bagi Rudi itu hanya sebuah penyiksaan. Harus on time, menuruti semua peraturan dengan ritme kerja yang itu-itu saja. Rudi memilih resign dini, dengan alasan ingin lebih dekat dengan anak-anaknya.

Dia tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi, hingga saat ini.
Rudi membesarkan kedua anaknya bersama Ibu dibantu oleh Bik Sumi, mereka merawat dan mengajarkan banyak hal pada Bagus dan Ayu.

Hingga Bik Sumi menikah dan berkeluarga, eyang tetap mengizinkan Bik Sumi untuk terus membantu di rumah. Hubungan mereka tetap baik, menganggap suami dan anak-anak Bik Sumi seperti keluarga sendiri. Banyak hal yang telah Bik Sumi lakukan untuk keluarga eyang, mulai dari membantu merawat anak-anak sampai menjaga cucu-cucunya hingga dewasa.

"Bu, ibu jangan terlalu capek lho, ingat pesan dokter kemarin," ucap Bik Sumi saat melihat eyang sibuk membuat kue kering.

"Ibu enggak capek, kan ibu cuma bantu kamu to, Sum. Jangan bilang sama Ayu kalau ibu habis dari dokter. Bisa ngomel panjang dia nanti." kilah eyang.

"Tapi saya takut Bu, kalau Non Ayu tanya macam-macam sama saya. Non Ayu kan, suka enggak percaya sama saya." bisik Bik Sumi, khawatir ada yang mendengar obrolan mereka.

"Dia itu terlalu lebay," dalih eyang sambil tersenyum. Bik Sumi ikut tersenyum.

"Habis ini acara tingkeban lho, Sum. Kamu segera cari rewang buat bantu-bantu disini." imbuh eyang mengingatkan Bik Sumi.

Tingkeban adalah salah satu tradisi selamatan dalam masyarakat Jawa, disebut juga mitoni berasal dari kata 'pitu' yang artinya tujuh. Seperti namanya, tingkeban/mitoni dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan. Tingkeban hanya dilakukan bila anak yang dikandung adalah anak pertama atau kehamilan pertama kali bagi si ibu.

Upacara tingkeban bermakna bahwa, pendidikan bukan saja setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini, sang ibu yang sedang hamil dimandikan dengan air kembang setaman disertai doa. Tujuannya untuk memohon kepada Tuhan agar selalu diberikan rahmat dan berkah, sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.

"Inggih Bu. Nanti saya cari rewang untuk bantu-bantu." kata Bik Sumi santun.

"Semoga nanti ibu bisa ningkepi anaknya Ayu juga ya, Sum." harap eyang.

"Aamiin." balas Bik Sumi cepat.

"Alah, kok ningkepi. Yang ngelamar aja belum ada gini kok. Gimana ibu enggak susah, udah umur segitu masih aja perawan. Temennya udah pada nikah, udah punya anak, kok dia bisa sesantai itu." desah eyang berwajah muram.

"Sudah to Bu, jangan terlalu dipikirkan. Jodoh itu kan rahasia Allah, mungkin Allah memang belum menunjukkan jodoh buat Non Ayu." ungkap Bik Sumi.

"Iyo wis Sum. Semoga aja dia jodoh sama anaknya Rhea, seneng aku kalau dia beneran mau tak jodohkan sama Ramdhan." ucap eyang berharap.

"Iya, kita doakan saja Bu." balas Bik Sumi.

💐💐💐

Stay with me, DearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang