14. Surabaya

18 3 0
                                    

🌁🌁🌁

Pukul 22.17 pesawat take off dan mendarat mulus di bandara Surabaya, sempat delay karena cuaca buruk. Di tengah gerimis Ramdhan setengah berlari menuju parkiran, mencari mobil Pak Yuda, ayahnya, yang telah menjemput dan menunggu di parkiran bandara.

“Assalamualaikum,” sapa Ramdhan kemudian sambil membuka pintu mobil. Ia bersalaman dengan ayah dan ibunya, dengan kondisi sedikit basah. Ia dapat melihat kekhawatiran pada wajah ibunya.

“Kayaknya enggak mungkin bisa bezuk sekarang deh, Bu. Ini udah malam, pasti sudah enggak diizinkan masuk ruangan,” ucap Ramdhan menjawab kekhawatiran ibunya. “Lagian jam segini mereka pasti juga butuh buat istirahat, Ramdhan juga capek banget, besok aja ya, Bu.” lanjutnya.

“Kamu sih, Bang ... kenapa telat banget datangnya?” protes Bu Rhea sedikit mengomel.

“Bu, di Bandung tuh tadi hujan, pesawatnya delay, Ramdhan juga udah berusaha cepet, tapi, kan tetap enggak bisa, mau dipaksa gimana lagi,” terang Ramdhan menenangkan ibunya.

“Udahlah Bu, kita bezuk besok pagi saja,” Kali ini Pak Yuda yang bicara. Beliau paham betul bagaimana reaksi istrinya bila keinginannya tidak terpenuhi, ngomel sepanjang jalan.

“Kalau besok pagi berarti Bapak enggak bisa ikut dong?” gerutu Bu Rhea. Nah, betul, kan?

“Yang penting Ibu sama Abang sudah datang, Bapak bisa menyusul, kan?” Pak Yuda menimpali ocehan Bu Rhea. “Sekarang kita pulang dulu, kasihan Abang juga capek tuh.”

🌧️🌧️🌧️

Bu Rhea sudah terlihat siap untuk pergi, beliau sudah tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Membuat Ramdhan terburu-buru sejak pagi. Akhirnya mereka hanya pergi berdua saja, karena Pak Yuda memang masih bertugas, beliau baru tahun depan pensiun dari pekerjaannya.

“Bang, berhenti di toko buah langganan ibu, ya,” ucap Bu Rhea mengingatkan Ramdhan. Ramdhan hanya mengangguk pelan. Dia tak banyak bicara selama di mobil, pikirannya tidak pada kemudi yang ia setir, pikirannya lebih banyak pada Ayu.

“Bang, jangan ngelamun dong, jalanan ramai tuh,” pesan Bu Rhea mengingatkan anaknya.

Hingga detik ini Ramdhan memang belum menjawab pesan dari Ayu, ia galau. Bingung harus menjawab seperti apa dan pasti akan rumit bila hanya lewat tulisan, ia lebih memilih untuk bertemu langsung dengan Ayu nanti.

Pukul 10.00 mereka tiba di parkiran rumah sakit, sempat berpapasan dengan Bagus, ia hendak pulang karena istrinya sendirian di rumah, katanya. 

Sepanjang perjalanan menuju paviliun berkali-kali ia menghembuskan napas panjang demi untuk menghilangkan gundah gulana di hatinya. Jujur, dia begitu nervous, entah apa yang ia khawatirkan. Bahkan menjadi nara sumber di forum besar pun ia tak pernah se-grogi dan setegang ini, tapi ini kenapa? Jantungnya berpacu lebih cepat, tangannya berkeringat, peluh dingin membasahi punggungnya. Ini benar-benar menyiksa.

Setibanya di paviliun, ia mendapati sosok perempuan itu berada di sana, hendak keluar ruangan, ia terlihat lelah, dengan rambut dibiarkan terurai asal, hanya diberi bandana bermotif polkadot menghiasi rambutnya. Perempuan itu berjalan menuju meja perawat di ujung sana.

Bu Rhea telah masuk ke kamar nomor 7 lebih dulu, ia sendiri sengaja memperlambat langkahnya agar bisa menjejeri Ayu yang hendak kembali ke kamar eyang.

“Hai,” sapa Ramdhan, jantungnya masih berdetak tidak karuan. Ayu sedikit terkejut begitu menyadari siapa yang tengah menyapanya. Lalu gadis itu tersenyum, tersenyum untuk pertama kalinya pada laki-laki yang kini berdiri di depannya.

Stay with me, DearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang