15. Paviliun 07

16 2 0
                                    

🏥🏥🏥

Eyang sudah terlihat membaik, wajahnya sudah tak sepucat beberapa hari lalu, bibirnya juga sudah tidak terlihat biru pucat dan matanya juga tak secowong ketika pertama kali Ayu menatapnya. Namun beliau tetap dibantu selang oksigen sebagai alat bantu nafas dan infus untuk tambahan energi dan alat memasukkan obat. Ini sudah hari kelima ehmm entahlah ketujuh mungkin. Ayu benar-benar sudah lupa hari dan tanggal, ia terlalu sibuk menjaga eyang. Ia tak pernah benar-benar pergi meninggalkan eyang, ia tak pernah kemana-mana, sepertinya janjinya waktu itu.

“Eyang, apa kabar hari ini?” sapa seorang pria dengan ramah, ia tak pernah menggunakan seragam ataupun jas kerjanya, hanya memakai kemeja berlengan pendek dan celana kasual, ia lah dokter Rifky, dokter pribadi eyang yang selama ini memang sering eyang datangi untuk sekadar kontrol rutin. Beliau begitu teliti dan terus memantau kondisi dan perkembangan eyang selama di rumah sakit ini.

“Alhamdulillah baik, Dok,” jawab eyang dengan suara masih lemah. Eyang belum bisa berbicara secara normal, masih terbata, lemah dan kadang hanya direspon dengan gelengan kepala.

Dokter Rifky terus mensupport eyang, selalu memberi semangat dan masukan kepada keluarga pasien agar sebisa mungkin meminimalisir hal-hal yang menyebabkan potensi penurunan kesehatan pada eyang, supaya menjaga agar emosi eyang tetap stabil dan terkontrol. 

Pria itu kembali memeriksa tubuh eyang, menyalakan senter kecil dan mengarahkannya ke mata eyang, mengecek kondisi jantung dengan stetoskop, merangsang persendian kaki dan tangan eyang, semua dilakukan dengan detail sambil terus berkomunikasi kepada keluarga pasien.

“Hasilnya bagus. Eyang salah satu pasien yang patuh dan nurut, jadi besok eyang sudah bisa istirahat di rumah.” ucap dokter Rifky.

“Alhamdulillah.” balas mereka bersamaan, ada Ayu, pak Rudi dan bik Sumi.

“Tapi perlu diingat, penyakit eyang bisa saja kambuh lagi kalau eyang terlalu capek, stress dan hal-hal yang memicu lainnya, hindari makanan terlalu asin dan pedas, sementara konsumsi sayur segar sama daging dulu. Intinya sih tetap mengontrol perasaannya sendiri, karena penyakit apapun itu sumbernya dari hati dan pikiran kita sendiri. Kalau hati kita senang, ikhlas, Insyaa Allah kita akan baik-baik saja.” lanjut dokter Rifky. Dokter ini selain pandai, beliau juga soleh dan ganteng pula. Tak jarang Ayu mendapat siraman rohani ketika menunggu eyang beberapa waktu lalu. Sayang aja, dokter Rifky sudah menikah, kalau belum mungkin Ayu bersedia diperistri seorang dokter, eh?

“Makasih ya, Dok.” ucap Ayu sambil mengantar dokter Rifky hingga ke pintu keluar ruangan eyang. Dokter muda itu tersenyum membalas ucapan Ayu. 

"Yahhh, besok udah enggak bisa ketemu dokter lagi, dong?" goda Ayu merajuk sambil memamerkan deretan giginya yang rapi.

"Masih kok, kan eyang enggak boleh pulang dulu  kalau saya belum kasih izin. Harusnya kamu tuh seneng lho enggak ketemu sama saya, berarti eyang udah sehat," balas dokter Rifky, Ayu mengiyakan ucapan dokter Rifky. 

"Iya sih, Dok," jawab Ayu kemudian sambil meringis.

"Semoga kita bisa cepet ketemu di lain waktu yang lebih baik, di nikahan kamu misalnya," balas dokter Rifky sambil tersenyum tulus. Senyum Ayu menghilang seketika demi mendengar kata-kata dokter Rifky, gadis itu tiba-tiba teringat akan obrolannya dengan Ramdhan di kantin waktu itu. Perutnya kemudian mulas tanpa sebab. Rasanya ia menyesal telah melakukan perbuatan bodoh yang tak terkontrol dengan mengirimi lelaki lulusan Inggris itu sebuah pesan 'minta dinikahi secepatnya'.

Sejujurnya ia sangat menginginkan pesan itu tidak pernah terkirim, entah harus nyangkut di mana saja, asal jangan pernah terkirim ke nomor lelaki itu. 

Stay with me, DearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang