Chapter 36

779 84 31
                                    

"Orang cerdas berdiri dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain." -Andrea Hirata

***

Junmyeon pov

Jika aku analogikan, dia ini seperti warna abu-abu. Entah putih atau hitam yang mendominasi, dua sisi berbeda dalam jiwa yang sama. Dua sisi yang timpang dan juga jiwanya yang paradoks membuatku tak bisa memahaminya. Dia kerap bertingkah seperti anak-anak, tapi terkadang juga seperti seseorang yang dapat diandalkan.

Di depanku, ketika fajar mulai muncul di ufuk timur dengan cahaya abadi yang hendak menyinari kelabu mega, dia seperti mengklise seorang agen FBI yang berpengalaman dalam membasmi diktator yang menerapkan sistem absolutisme.

Volume yang memekakkan rungu dan membutakan asas kemanusiaan itu kembali terdengar saat kepulan asap hitam dari sebuah peluru panas menyeruak masuk ke dalam paru-paru dengan brutal.

Fragmen yang tersimpan apik dalam memoriku.

Dia terlihat berbeda, dia membantah akan semua tuduhan tak berdasar yang mengarah padanya, menyuruhku masuk ke dalam mobil dengan suara yang keras.

Tidak. Ini salah. Benar-benar salah.

Aku hanya ingin pulang, tapi takdir tetap tidak mengizinkan itu terjadi.

"Hyung! apakah kau melihat ada granat di sana?" Sebuah gelombang suara mencapai telingaku dalam beberapa detik. Tak perlu berkutat dengan pikiranku lagi, aku segera mengobrak-abrik beberapa benda juga tas hitam yang berada di bagasi.

"Granat?" aku bergumam, aku tidak tahu dengan pasti bentuk granat itu seperti apa, tapi yang kutahu, benda itu bisa meledak kapan saja. Entahlah, mungkin bentuk granat mirip seperti buah delima.

"Granat asap?" aku mengamati sebuah kaleng —yang kuyakini adalah sebuah granat— dengan lubang di atas dan di bawahnya.

Aku langsung membuka pintu dan menatap sekeliling, mencari pemuda itu dengan iris mata hitam kecokelatan milikku.

"Hei! anak kecil!" aku langsung melempar granat itu ke arahnya. Nihil, lemparanku meleset, aku memang tidak pandai melempar benda. Tepat saat benda itu menyentuh tanah, aku langsung menutup telingaku erat-erat.

Cush!

Aku mengerjap bingung, menurunkan tanganku dengan cepat. Lihat, bukannya meledak, benda itu langsung mengeluarkan asap dari kedua lubang di atas dan di bawahnya.

Seketika, pintu mobilku langsung terbuka, aku menoleh ke kiri dan melihat pemuda itu tersenyum miring dan langsung menancap gas dengan brutal.

Aku nyaris terkejut dibuatnya. "Hei, bagaimana kau bisa kemari? bukankah—"

"Kerja bagus, hyung." Pemuda itu tersenyum lebar,"sebenarnya, aku meminta granat genggam, tapi kau malah melempar granat asap sehingga membuatku mudah untuk kabur dari sana. Jika saja kau melempar granat genggam, mungkin aku dan mereka tidak akan selamat dari ledakan itu."

Aku mengulum bibirku, sedikit terkesiap akan penuturannya,"jadi ... aku tidak melakukan kesalahan?"

Pemuda itu tertawa lepas,"kesalahan apanya? kau bahkan sangat membantuku."

"Hei, anak kecil."

Pemuda itu menoleh dengan mata polos, kemudian menaikkan sebelah alisnya menungguku yang hendak bertanya.

"Tidak jadi."

"Kau menyebalkan, hyung!" pemuda itu menggerutu, kemudian kembali memfokuskan dirinya sendiri yang sedang mengendarai mobil.

Why, Leader?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang