"Tidak ada yang namanya benar-benar tulus di dunia ini, karena itu, jangan terlalu percaya kepada orang lain."
***
Taehyung berjalan setengah berlari sambil sesekali melompat dengan kurva senyum yang melengkung ke atas, tipikal Kim Taehyung sekali. Dia melirik jendela rumah sakit yang dilewatinya dan menatap langit dengan gegana yang didominasi warna kelabu. Senyum cerah itu langsung hilang seketika, Taehyung benci hujan dan segala kenangan yang ada di sana.
"Taehyung uisanim, direktur memanggilmu." Seorang perawat dengan setelan putih bersih menepuk lengan Taehyung pelan.
Taehyung menoleh dan tersenyum tipis, dia mengangguk dan segera melangkahkan kakinya menuju salah satu ruangan yang terletak di lantai tujuh.
"Ada apa, abeoji?" satu detik setelah Taehyung membuka pintu, kata itu langsung meluncur begitu saja dari mulutnya. Taehyung menatap intens seorang pria paruh baya yang sedang menuliskan sesuatu di sebuah kertas.
"Kau memakai barang itu lagi?" Taehyung mengerutkan keningnya ketika iris hitam pekatnya mendapati sebuah sarung tangan berwarna krem, sama persis seperti warna kulit pria itu, melekat sempurna di tangan orang yang dipanggil abeoji oleh Taehyung.
"Tentu saja, sarung tangan ini memiliki pola yang sedikit tidak simetris di bagian jarinya sehingga orang-orang bodoh itu mengira bahwa aku bukanlah manusia karena sidik jariku terlihat berbeda, padahal ini bukanlah sidik jari." Pria itu terbahak keras kemudian melipat kertas yang baru saja ditulisnya dan memasukkannya ke dalam sebuah amplop berwarna cokelat.
Taehyung menatap datar pria yang berada di depannya ini. Sungguh, rasanya Taehyung ingin menampar pria itu dengan tangannya sendiri, tapi keinginan hanyalah keinginan, tidak akan pernah terwujud walaupun Taehyung sudah bersujud.
"Ada apa abeoji memanggilku?"
Pria itu mendongak kemudian tersenyum miring menatap Taehyung dari atas sampai ke bawah,"Kim Taehyung, anakku."
Taehyung memutar bola matanya malas ketika pria itu melembutkan ucapannya, penuh kepalsuan. "Berhenti mengucapkan kata menjijikkan seperti itu, ada apa abeoji memanggilku?" tanya Taehyung lagi.
"Ouch! hatiku terluka."
Taehyung menghela napas kesal. "Berhentilah berbasa-basi sebelum aku kehilangan rasa hormatku kepadamu, abeoji. Aku sudah cukup menghargaimu dengan memanggilmu ayah."
"Baiklah." Pria itu berdehem kemudian menyerahkan amplop berwarna cokelat yang berisi kertas yang ditulisnya tadi.
"Apa ini?" Taehyung mengambil kertas itu, kemudian dia membolak-balik kertas itu dengan alis tertaut.
Pria itu kembali tersenyum miring. Bagus, pegang kertas itu lama-lama, Tae. Tempelkan jarimu lebih kuat lagi.
"Itu adalah sebuah amplop, apa kau buta?" pria itu berucap sarkas membuat Taehyung berdecak kesal.
"Bukan itu maksudku, Kim Heechul." balas Taehyung,"untuk apa barang ini? kenapa kau memberikannya padaku?"
Heechul tersenyum miring,"letakkan amplop itu di nakas ketika Kim Seokjin tertidur, dan jangan sampai dia tahu bahwa amplop itu dariku dan kau yang jadi perantaranya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Why, Leader?
Hayran Kurgu[COMPLETED] Relung langit lagi-lagi berwarna kelabu, meluas sedemikian aksa. Dia bergemuruh, mengamuk dengan lekatan jelaga. Lalu, aku bertanya dengan bahasa malam. Kapan lara ini hilang? [Kim Junmyeon, as a main character.] ©jasminsya