21. diskusi yg gak penting

10.7K 1.4K 179
                                    

Eche POV

Tubuhku menegang ketika Nate menarik punggungku menempel ke dadanya, aku berusaha keras untuk membuatku tubuhku sesantai mungkin agar dirinya tidak curiga aku masih belum tertidur.

Tindakannya tadi yang tiba-tiba menciumku dan berakhir dengan merasakan desakan bukti hasratnya yang mendesakku, membuatku terkejut setengah mati.

Sangat malu kurasakan, apalagi merasakan bukti hasratnya untuk kedua kalinya karena Nate memintaku untuk duduk di pangkuannya.

Ya ampun.

May, mending sekarang gue pesan tiket balik ke Jakarta aja kali ya. Masih ada gak sih pesawat jam segini? Last flight jam berapa sih? Batinku berkecamuk.

Kudengar suara dengkuran halus dan tarikan nafas Nate di belakangku.

Tangannya erat melingkar di pinggulku.

Kilasan omongan Maya perihal petuah bang Bima kembali melintas. Aku meringis, berharap jangan sampai kami berakhir di atas ranjang yang menyebabkan perutku melendung.

May.....

Ok, mungkin terlalu dini memikirkan sampai perutku melendung. Tapi tetap saja membayangkan hal itu membuatku bergidik.

Aku mencoba bergerak pelan, lenganku terasa pegal karena terlalu lama berbaring dengan posisi menyamping.

Nate ikut bergerak dan semakin melesakkan wajahnya ke tengkukku.

Aku memejamkan mataku erat dan meringis.

May.... Tolong gue.

Ini gue musti gimana???

Aku terdiam beberapa saat lamanya.

Lebih baik pindah tempat tidur, dari pada aku terjaga sampai pagi dengan kondisi menempel seperti ini, putusku.

Aku mengambil lengan Nate dari pinggulku dan perlahan bergerak duduk lalu berjinjit melangkah melewati pintu penghubung.

Bernafas lega begitu aku masuk ke dalam duvet cover di atas ranjang kamar Nate.

Untung Nate tidak terbangun dan menarikku kembali tidur bersamanya.

Aku berusaha mengatur nafasku dan debaran jantungku yang berdetak kencang.

Tidur Che, besok cari tiket balik ke Jakarta.

Aku memejamkan mataku mencoba untuk tidur.

°°°

Sejak malam di mana Nate yang tidur seranjang denganku, dua harian selama kami hunting chapel sangat terasa lama berlalu.

Aku selalu berharap untuk dapat kembali ke Jakarta. Keputusan ku kemarin yang memutuskan untuk membeli tiket keesokan harinya gagal, karena Nate menyimpan handphoneku.

Sudah pasti bikin kesal, beberapa kali aku meminta dirinya untuk mengembalikan handphoneku, yang ada Nate malah selalu tersenyum sumringah ke arahku dan menggenggam tanganku erat.

Nate membuatku takut dengan perilakunya yang kurasakan seperti memberi perhatian lebih kepadaku.

Seperti sekarang ini, dirinya menggenggam tanganku sedari tadi kami turun dari mobil, membuatku jengah.

Kami berjalan beriringan dengan lengan berototnya menempel di lenganku.

Wajahnya selalu tersenyum sambil memberi pertanyaan ke pihak hotel mengenai chapel.

Aku kerap kali berusaha menarik tanganku dengan beralasan agar dapat mencatat poin-poin penting, tapi bisikan Nate di telingaku membuatku hanya mengangguk pasrah.

Filosofi JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang