6. Keluarga

129 8 0
                                    

6

Suasana dingin Kota Bandung masih terasa meskipun matahari sudah sepenuhnya terlihat. Gadis kecil berambut ikal tampak asik dengaan ibunya memberi makan ikan-ikan di kolam yang terletak di rumah kakeknya.

"Mama, mama." Gadis kecil itu meminta makanan ikannya lagi.

"Udah ya, ikannya udah kenyang, Kak." Kata wanita cantik di sampingnya. Gadis kecil itu menggeleng keras, sudah pasti ia tak mau menghentikan kegiatannya.

"Lihat bunga aja yuk, itu cantik banget, Hanny." Bujuk wanita itu. Lagi-lagi gadis kecil itu menggeleng kuat. Wajahnya tertekuk, mungkin ia akan mulai menangis. Sesaat sebelum gadis kecil itu menangis, sebuah tangan kekar sudah mengangkatnya ke atas.

"Hanny, pakdhe punya coklat mau?" Tubuh gadis kecil itu terangkat dan jatuh ke pelukan pakdhenya, Azra. Terdapat satu bungkus coklat kesukaan Hanny, si gadis kecil. Azra membawa Hanny ke bawah pohon mangga yang di beri kursi panjang, dan sebuah meja kecil di depannya. Pak Ghani dan Wibi, ayah Hanny, sudah berada disana lebih dulu.

"Mas Azra ih, jangan dikasih coklat dulu mas, lagi batuk." Kata Arina sembari mengikuti langkah kakaknya. Arina adalah adik perempuan Azra, tahun ini ia berumur 27 tahun dan berstatus menikah dengan Daniel Wibisono. Mereka menikah 2 tahun yang lalu, ketika umur mempelai prianya menginjak 28 tahun. 

"Sekali-kali." Azra mendudukkan Hanny di pangkuannya setelah ia sendiri duduk di samping Pak Ghani. Bapaknya itu masih sibuk berbincang bersama Wibi. Wibi yang seorang dosen muda di salah satu universitas di Bandung tidak kehabisan topik untuk mengimbangi ayah mertuanya.

"Iya sekali ngasih terus batuk mas." Kata Arina seraya duduk di samping masnya. "Mas, kapan kita bisa triple date? Gak bosen apa jomblo terus?" Kata Arina mengganti topik pembicaraan. Tangannya sibuk menyeka coklat yang menempel disekitar bibir Hanny.

"Kamu gak bosen nanyain itu terus? Pelan-pelan toh perusahaan juga masih sibuk." Jawab Azra singkat. Tanpa mengalihkan pandangannya dari Hanny.

"Alesannya masih sama sejak pertanyaan pertamaku tiga tahun yang lalu sampai sekarang. Kalau nunggu perusahaan sepi, ya nunggu bangkrut dong, astaghfirullah jangan sampai. Kenapa gak sekalian aja mas nikahnya sama kertas-kertas dokumen perusahaan itu? Biar nanti makannya setiap hari kertas, yang dikeloni ya juga kertas." Belum sempat Azra menjawab, Arina sudah menambahkan lagi. "Pokoknya ya mas, aku gak mau mas jadi bujang lapuk loh. Ini juga demi kebaikan Mas Azra. Mas ngerti kan? Aku cuma mau mas gak meng-handle semuanya. Masak sendiri, nyuci baju sendiri, semuanya sendiri." Jelas Arina panjang lebar, dan hanya ditanggapi Azra dengan senyum dan anggukan kepala.

"Pelan-pelan Rin. Sebanyak apapun usaha dan doa yang mas lakukan, hasilnya kan yang pegang Allah." Jawab Azra menatap adiknya dengan lembut.

"Iya sih, astaghfirullah. Tapi kalau ngomongin usaha, aku kenalin sama temenku gimana mas?"

"Ndak perlu, nduk. Biarkan masmu mencari sendiri, toh dia sudah dewasa." Bu Harina muncul membawa sepiring pie apel yang masih hangat. Setelah meletakkan piring di atas meja, Bu Harin duduk di samping anak perempuannya. Ia punya firasat bahwa Azra akan menemukannya segera.

Perbincangan itu berlanjut hingga menjelang dzuhur. Setelah sholat Pak Ghani dan Wibi duduk di ruang keluarga sambil mengobrol ringan, Azra mengambil kesempatan untuk istirahat karena tubuhnya masih kelelahan berkendara 12 jam. Setelah lelah dengan obrolan masing-masing, Pak Ghani dan yang lainnya juga memutuskan untuk istirahat. Siang itu menjadi reuni keluarga yang diadakan sesekali. Anak-anak Pak Ghani memang jarang pulang, akan tetapi mereka tidak lupa dimana rumahnya. Sekalipun mereka  sibuk, kalau sudah rindu masakan Bu Harina, mereka akan pulang sendiri tanpa diminta. Bahkan kerap kali mereka pulang untuk meminta petuah dari bapak jika mengalami kesulitan mengambil keputusan.

Find You, as A HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang