13
"Shira."
Suara serak yang berat membuat pemilik nama itu terpangggil. Kakek Shira masuk membawa selimut, sprai, dan sarung bantal ke dalam kamar. Walaupun sudah sepuh, Kakek Shira masih terlihat bugar. Guratan usia di wajahnya tidak bisa ditutupi, meskipun begitu ia masih bisa berjalan dengan baik. Rambutnya yang putih ia sembunyikan di balik peci putih miliknya.
Lokasi desa tempat Kakek Shira tinggal tidak begitu jauh dari pusat kota. Kota yang terkenal dengan banyak tempat-tempat wisata yang menawarkan keindahan alam pegunungan dengan suasana dingin yang menggigit. Hamparan kebun teh di belakang rumah sudah pasti memanjakan mata setiap kali mereka pulang.
"Makasih ya Kung." Ucap Shira setelah menerima barang-barang yang kakeknya bawa. Kakung, adalah panggilan untuk kakeknya, sejak orang tua Shira meninggal, Kakung lah yang merawat Leo dan Shira. Budhe Sarah dan keluarganya menetap di rumah Kakung setelah Shira dan Leo memutuskan untuk pindah kembali ke Jogja, sembari mengurus keperluan Kakung yang semakin tua.
Kakung kemudian duduk di kursi dekat meja belajar Shira waktu dulu. Tanpa mengeluarkan suara apapun, ia hanya memandangi Shira yang mulai memasang sprai kasurnya. Bahkan setelah cucunya itu selesai, ia tetap terdiam, seperti sedang menyiapkan sesuatu untuk dikatakan.
Shira yang menyadari keanehan kakeknya itu. "Ada apa Kung?"
"Shira, kapan mau dipakai lagi hijabnya Nduk?" Tanya Kakung.
Deg. Shira terdiam.
"Kung, Shira belum berani, maaf." Ujar Shira menundukkan kepalanya.
Kakung berpindah ke sebelah Shira, tangannya yang sudah renta mengelus rambut cucunya. "Nduk, keberanian tidak akan kita dapatkan tanpa adanya tekad. Semakin lama Shira menghindari kewajiban, hati Shira akan menormalkan kekeliruan itu."
Sejauh apapun kita menghindari sesuatu, hal itu akan mendekat tanpa kita sadari. Seperti ketika kita membenci seseorang. Semakin kuat rasa benci yang kita tanam, semesta akan mendekatkan kita dengan mereka untuk saling mengenal dan memaafkan. Karena sepertinya alam semesta tidak ingin membiarkan kebencian menguasai hati manusia. Saling menyakiti dan membenci bukanlah hal yang baik, namun terkadang kita perlu mengenal perasaan-perasaan buruk itu untuk mengetahui kedamaian sejatinya tidak membutuhkan mereka.
Shira hanya terdiam.
"Kakung tidak bisa memaksa kamu, Nduk. Tapi Kakung harap Shira paham posisi saat ini. Bayangan bundamu tidak akan pernah hilang dari wajah Shira, dan mimpi itu juga tidak akan pernah menyakiti kamu." Kakung tersenyum membawa Shira dalam dekapannya.
"Sebentar lagi Kung. Sebentar lagi Shira akan menang ngelawan mimpi tentang bunda di kecelakaan itu." Shira terpaksa mengingat wajah Tiara yang berlumur darah, dengan hijab coklat yang sudah basah dengan darah, dan senyum terakhir sebelum semuanya hilang.
Shira mengeratkan pelukannya pada kakeknya. Dan Kakung memberinya sedikit ruang untuk memikirkan bagaimana cara untuk kembali.
***
Shira menghela napas untuk kesekian kalinya, setelah mobil milik kakaknya berhenti di tempat tujuan. Kakinya terasa berat untuk turun dari mobil. Ada rasa yang menyuruhnya untuk segera berlari menuju tempat ayah dan bundanya berada. Tapi rasa itu tidak lebih besar dari keinginan kakinya untuk kembali ke rumah Kakung. Rasa yang membuatnya menghindar selama 5 tahun.
"Shira, ayo!" Ajak Leo dengan mengetuk kaca mobil di samping Shira. Shira sedikit kaget, hingga menjauhkan tubuhnya dari pintu.
"Ayo." Jawab Shira sembari memantapkan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Find You, as A Home
RomanceRumah hanyalah sebuah kata, jika tidak ku temukan hadirmu di dalamnya. by. Taffycoffee_