15. Hati yang Tak Bertuan

95 9 3
                                    

15

Leo sudah berada di dalam ruang UGD. Kini Azra sedang berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju parkiran. Bukan untuk pulang, ia akan mengambil smartphonenya yang tidak sempat ia masukkan ke saku sesaat setelah memberi kabar pada Kevin mengenai Leo. Benar, Denozyr Malleo Ramadhan, adalah teman Azra dan Kevin. 

Umur mereka berjarak empat tahun. Mereka saling mengenal karna  karena Azra. Leo yang sudah seperti adiknya sendiri dan Kevin yang bersahabat dengannya sejak SMA.

Kembali ke rumah sakit, Azra meminta pelayan di Cafenya yang tadi ikut membawa Leo ke rumah sakit untuk menunggu sebentar hingga ia kembali.

Mobilnya sudah terlihat, ia tinggal berjalan mendekat dan mengambil hanphonenya. Namun sesuatu menghentikan tangannya untuk membuka pintu mobil. Terlihat tidak begitu jelas di mata Azra, akan tetapi siluetnnya begitu ia kenali. Seorang wanita yang ia kenal berada di pelukan seorang pria dengan jaket hitam. Azra dapat mendengar isakan dari si wanita karena jarak mereka tidak begitu jauh. Azra pun mengurungkan niatnya tadi.

Shira dan Zain? Batin Azra sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saat matanya kembali memandang pemandangan itu. Shira sudah tidak berada di rengkuhan Zain. Saat tangan Zain hendak menggenggam jemari Shira, Azra melihat Shira terlihat sedikit menghindar. 

Ada sedikit rasa lega saat melihat Shira menolak genggaman tangan Zain.

Azra menyadari ketidakberdayaannya untuk marah. Tenyata keberadaan Shira sudah membuat jiwanya yang terbiasa sendiri mengalami guncangan. Jika dibiarkan terlalu lama, mungkin akan segera berubah menjadi gempa yang dahsyat.

Azra belum beranjak dari posisinya yang menyandarkan tangannya pada pintu mobil saat dua orang yang sedari tadi ia amati sudah berlalu masuk ke rumah sakit. 

Ceklikk

Pintu ruang inap kelas 1 tempat Leo dirawat terbuka, tiga wajah menyembul dari balik pintu.

"Jess?" Shira duduk tegak di kursi sebelah ranjang Leo. 

"Gimana? Apa kata dokter?"

"Tifus, cukup parah kata dokter, tapi untungnya segera ditangani jadi dampak buruknya bisa dihindari." Jelas Shira. Ia bersyukur karena bukan penyakit yang cukup buruk yang kakaknya hadapi. Walaupun tifus cukup membahayakan jika terlambat ditangani.

Fathan yang menggendong Kaisar duduk di sofa samping Zain. Fathan tidak berniat membangunkan Zain yang tertidur sambil duduk, tangannya bersedekap di depan dada. Tadi ia sempat berdebat dengan istrinya, karna jika mereka berdua ikut ke rumah sakit maka Kaisar juga harus ikut sedangkan bayi mereka ini tidak boleh terlalu lama di rumah sakit. Karena Jessy keukeuh, mereka pun tetap ke rumah sakit, dengan syarat dari Fathan bahwa mereka hanya akan mengunjunginya sebentar. Shira pasti memahami keadaan mereka.

Tiba-tiba tangisan Kaisar mengagetkan seluruh orang didalam ruangan kecuali Leo. Jessy datang dan memberinya susu botol yang berisi asinya. Zain yang semula menutup matanya kini sudah sepenuhnya sadar, matanya masih merah efek bangun tidur. Zain berlalu menuju kamar mandi untuk mencuci muka, sedang Jessy dan Fathan masih sibuk menenangkan Kaisar.

Shira yang melihat kebahagiaan Jessy, ia senang. Tidak perlu ada yang ia khawatirkan sekarang tentang teman-temannya walaupun ia tidak ingat. Dari cerita mereka, menurut Shira kesedihan yang ia rasakan dulu, tidak lebih besar dari kebahagiaan bersama mereka. Kini tinggal sosok ayah pengganti yang sedang terbaring lemah dengan infus menggantung di sampingnya.

Shira sedikit khawatir dengan perkataan dokter tadi. Namun nyatanya ia harus percaya, karna Leo sudah berada di tangan orang yang sudah ahli dalam bidangnya.

Find You, as A HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang