I [di Bawah Naungan]

950 68 14
                                    


Jisung

Kegelapan memenuhi seisi ruangan. Di dalam kebutaan sejenak ini kakiku melangkah dengan bantuan sang indra peraba. Sesekali tubuh ini menabrak sesuatu karena kecerobohan indra perabaku yang kurang teliti. Kuraba objek yang ada di depan, sensasi dingin sedikit mengejutkan si indra peraba, sepertinya objek ini memiliki permukaan yang rata. Teksturnya keras dan sejauh mana pun kuraba objek ini ke samping, tak ada ujungnya.

"Kau terjebak, ya?" tanya seseorang di belakang yang hampir membuat jantungku terpental keluar.

'Oh tidak, mati aku...' putus asa.

"Aku datang~"

Dikuncilah kedua pundakku dengan cengkeraman tangannya yang sangat erat.

"Kau tidak bisa kabur, anak kecil..." bisikannya melayang lembut ke telingaku membuat seluruh bulu kudukku meremang.

"Tidak! Lepaskan aku! Tidak!" panik bukan main diriku ini.

Buta tak lagi kurasakan, sakelar lampu ditekan oleh seseorang, seisi ruangan menjadi terang benderang.

"Sudah mainnya, sekarang waktunya makan, anak-anak." perintah pria yang biasa kusebut 'ayah'.

Sosok yang menangkapku dalam gelap yaitu sang kakak, Taeyong. Kedua anak ini langsung mematuhi perintah ayah dan pergi menuju meja makan. Di sana ada kakak keduaku, Jihyo. Masakan buatannya yang menggoyang lidah mulai menggoda penciuman kami dengan aromanya yang membangkitkan selera makan. Ayah datang paling terakhir, mungkin ia mengurusi hal lain dulu. Ayahku bernama Jaebum. Selama ini ialah sosok yang mengurus kami dan melindungi kami dari segala bahaya yang datang mengancam kami bertiga. Dia benar-benar ayah terbaik di dunia. Kasih sayangnya pun tak terhingga, makanya aku sangat menyayanginya.

Aku juga menyayangi semua kakakku, mereka kakak terbaik sepanjang masa. Segala hal yang tak kumengerti pasti mereka jelaskan, mereka pun berani mengambil risiko demi keselamatanku. Pokoknya aku sangat mencintai keluarga kecilku ini, meski hingga kini masih ada misteri yang belum terpecahkan. Selama ini aku bertanya-tanya di mana ibuku. Mana mungkin aku terlahir ke dunia tanpa seorang ibu, sungguh tidak rasional. Ayah tak pernah memberi penjelasan mendetail tentang keberadaan ibu, kakak-kakakku tak pernah menjawab dan selalu mengalihkan topik setiap kali kutanyakan perkara itu. Sungguh membingungkan, tapi tak apa, mungkin mereka punya alasan untuk tak membeberkannya padaku. Tinggal menunggu semuanya terkuak, aku sangat tidak sabar!

Tidak hanya itu, ada satu hal lagi yang membuatku terheran-heran. Sudah lama ini aku tak pernah menyaksikan sang surya dengan mata-kepalaku sendiri. Kulit ini pun tak pernah terpapar sinar si bola merah itu. Rindu diriku akan sinar matahari yang menghangatkan dan membakar kulit. Mungkin Jihyo dan Taeyong merasakan hal serupa. Penyebabnya yaitu ayah tak pernah mengizinkan kami merasakan dunia luar. Pintu menuju keluar selalu dikunci rapat. Kuncinya tak main-main, berlapis dan bermacam-macam. Pintu yang tadinya hanya memiliki satu lubang kunci, ayah memodifikasinya sehingga jumlah lubang kunci menjadi berlipat-lipat. Selain itu, pintu pun ada sekitar tiga lapis. Kami bertiga sama sekali tidak boleh coba-coba membuka setiap kuncinya untuk keluar dari sini. Alat komunikasi juga hanya dipegang oleh ayah. Mau tidak mau kami terisolasi di sini dari dunia luar yang entah seperti apa.

Taeyong pernah coba-coba membobol pintu tiga lapis yang selalu terkunci rapat. Ayah berhasil menangkap basah dirinya dan Taeyong dibombardir kemurkaan habis-habisan. Walau sebenarnya aku pun hampir mati digerogoti rasa penasaran, namun aku yakin ayah pasti punya maksud baik. Suatu ketika ayah pernah berkata pada kami kalau dunia luar itu sangat menakutkan, mengerikan juga berbahaya. Hanya saja beliau sama sekali tidak pernah menceritakan secara detail. Maksud ayah mengurung kami di sini itu mungkin untuk melindungi dari hal-hal tak diinginkan.

VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang