II [Alam Liar]

475 46 4
                                    


Author

Keduanya saling menatap satu sama lain. Si bungsu hendak melepaskan teriakan dahsyat yang bisa membangkitkan semuanya dari tidur. Rupanya Jisung kalah cepat, tangan besar si misterius lebih dulu mengunci bibirnya rapat-rapat. Agar tak macam-macam, si misterius mengunci pula tubuh Jisung yang lebih kecil darinya. Jisung memberontak, namun tenaga si misterius lebih unggul, alhasil Jisung hanya membuang-buang tenaga. Rasa takut Jisung yang berlebih menghasilkan air mata yang mengalir membasahi sarung tangan si misterius.

“Tenang, aku tidak akan menyakitimu...” bisik pria misterius ini masih membatasi gerak-gerik Jisung dengan tangannya.

Satu-dua menit berlalu, mulut Jisung bergeming, isak tangis tak terdengar lagi, tubuhnya berhenti bergerak liar seperti orang kesurupan. Menurut perhitungan si misterius, anak ini sudah cukup tenang dan tampaknya tak akan mengacaukan rencananya. Dilepaslah perlahan tangannya dari bibir Jisung. Sesekali Jisung menyedot ingusnya yang hendak unjuk diri dengan tenang.

“Apa maumu?” tanya Jisung sembari menyeka air mata di pipinya.

“Boleh tidak aku meminta sedikit makanan yang ada di sini? Aku kehabisan perbekalan... Seharian ini aku belum makan, kemarin pun hanya sedikit...” pinta si misterius dengan baik-baik juga memasang wajah memelas.

“Kau pasti lapar...” hati Jisung terketuk oleh ucapannya, bibir Jisung melengkung ke atas mengekspresikan apa yang ia rasakan.

Anak ini mengantar si misterius ke dapur. Sebagian kecil makanan yang ada di kulkas, laci, meja makan dan lainnya ia berikan dengan hati tulus. Meski Jisung sangat baik, namun ia tak rela jika harus memberikan banyak, sebab ia membayangkan kalau perjuangan ayahnya sangat sulit untuk mendapatkan sesuap makan. Setidaknya yang anak berhati baik ini beri bisa mencukupi kebutuhan si misterius untuk beberapa hari.

“Sungguh malang...” kesedihan meliputi Jisung setiap kali matanya bertemu dengan si misterius.

Misi selesai, si misterius bergegas pergi namun tak lupa mengucapkan kata terpenting, yaitu “terima kasih”.

“Tunggu! Apa kau tidak takut dengan dunia luar? Kata ayah itu sangat berbahaya...” si bungsu menahan langkah si misterius dengan sebuah pertanyaan.

“Sebenarnya aku takut, namun mau bagaimana lagi? Aku harus kembali ke rumah segera.” ujar si misterius mengedikkan bahunya.

“Aku penasaran ada apa di luar sana...”
“Mungkin kau ingin ikut denganku?” ajak si misterius mengangkat kedua alisnya bersamaan.

Anggukan Jisung beri sebagai jawaban. Dalam anggukan tersebut tak tertuang setetes pun rasa ragu dan takut.

“Kalau begitu kita butuh persediaan makanan lebih banyak lagi, kau juga pasti butuh makan kan?” alih-alih membebaskan Jisung dari belenggu sang ‘ayah’, ia memanfaatkan kebaikan hati dan keluguan Jisung.

Begitu polosnya Jisung mematuhi perkataannya dan membawa sebagian makanan lagi dari dapur. Mereka melangkah keluar bersama menuju gerbang alam liar yang penuh kejutan. Berbeda dari orang lain, Jisung sangat antusias bisa memenuhi rasa penasaran yang setiap hari semakin menumpuk dan kini sudah membumbung tinggi.

Beberapa jam kemudian...

Sang surya hendak lepas landas, langit yang sedari tadi gelap berubah menjadi cerah. Para penghuni bunker keluar dari alam mimpi masing-masing menuju dunia nyata. Hari baru telah tiba. Mereka bangkit dari kasur empuk nan lembut yang bagaikan surga. Mata masih terasa berat dan lengket. Rutinitas pagi mereka jalankan seperti biasa.

“Jisung? Jisung? Waktunya mencuci muka dan menggosok gigi!” panggil Taeyong menyambangi setiap ruangan yang sering Jisung masuki.

Tidak ada sahutan dari si bungsu. Taeyong merasakan kejanggalan, tidak biasanya Jisung mengacuhkan panggilan anggota keluarganya. Di tempat lain ada Jihyo hendak menyiapkan sarapan. Usai membuka kulkas dan lemari, ia malah mengernyitkan dahi, bukannya mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan.

VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang