VIII [Senapan]

209 34 5
                                    


Jisung

Tubuh kokoh Jaehyun ambruk, dirinya jatuh menghantam tanah. Satu pergerakan pun tak ada dari tubuh Jaehyun yang berbaring menyamping di tanah. Kami, yaitu ayah dan aku tercengang, lidah seolah beku, tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulut masing-masing.

“Kita harus pergi dari sini!” bisik ayah menarikku pergi dari dapur menuju ke ruang tengah.

Mingyu yang menunggu di gudang bersama Joshua menonton pergerakan kami, keduanya mengekori tanpa diperintah. Rencana ayah sepertinya keluar dari pintu depan. Berderap kami berempat ke pintu depan dengan tubuh mandi keringat. Selebar mungkin pintu depan dibuka. Bukannya terus berlari, kami semua malah mengerem mendadak dan mematung. Kelompok tersebut sudah mengepung rumah baik di bagian depan maupun belakang. Terjebak sudah kami berempat di sini. Ayah menutup pintu kembali dan menguncinya.

Ide gila tiba-tiba menyusup ke dalam otakku. Berlari kakiku ke basement. Sesuatu hendak aku bawa. Semoga ini bisa menyelamatkan nyawa kami. Sejak malam itu aku menyimpan benda tersebut di bawah tempat tidur Jaehyun. Senapan laras panjang yang entah milik siapa dan kini telah menjadi milikku adalah benda yang muncul dalam ide gilaku. Entah atas dasar apa aku melakukan ini, namun itu sekedar terlintas di benakku. Kembali aku ke lantai satu dengan senapan laras panjang di tangan. Ayah serta Mingyu terbelalak melihat diriku membawa benda berbahaya satu ini.

“Nak, simpan kembali benda itu!” tegas ayahku mengarahkan jari telunjuk ke bawah.

Aku berontak, kalimatnya tak sedikit pun kupedulikan. Pergi aku ke lantai dua.

“Jisung, jangan main-main dengan benda berbahaya itu!” nada bicara ayah semakin tinggi.

Beliau mengikuti langkahku dari belakang. Kunaikkan kecepatan langkahku agar rencanaku tak terhalang olehnya. Masuklah diriku ke salah satu ruangan yang di mana ada jendela menghadap ke depan. Supaya rencana berjalan mulus, pintu ditutup rapat dan dikunci. Untunglah kuncinya masih tergantung di pintu. Jendela kubuka sedikit dengan perlahan agar tak ada siapa pun yang menyadari. Moncong senapan ku arahkan ke salah satu dari mereka lewat celah tersebut.

DORR!

Kena satu. Badannya tumbang dalam sekali serang. Target kedua kukunci, dan kena lagi.

Headshot!

“Maafkan aku! Maaf!” ucapku merasa bersalah seraya mengarahkan moncong senapan untuk mencari target lain.

Pelatuknya belum sempat kutekan, serangan balasan kuterima. Mundur aku beberapa langkah. Peluru dari mereka menerobos kaca jendela ruangan ini. Berarti aku harus bermain cepat sekarang. Aku memberanikan diri berdiri agar lebih mudah mengarahkan senapanku kepada mereka. Dalam waktu singkat lima sampai tujuh orang berhasil ditaklukkan. Ada yang membalas seranganku selama diriku menyerang, namun kegesitanku mampu menghindari itu semua. Pemain lawan yang tersisa melihat diriku dengan seksama dan terdiam selama beberapa detik. Matanya memicing sembari terus terarah padaku.

“I- itu dia! Ayo lari!” gagap seorang pria tinggi di antara mereka menunjuk ke arahku.

Teman-temannya menatap diriku dengan seksama juga. Bola mata mereka seolah hendak terlempar keluar setelahnya. Kabur begitu saja mereka dari halaman dan trotoar depan rumah. Terbirit-birit lari mereka, semua seakan berlomba-lomba menjauh dari rumah ini. Aku yang tadinya berniat melepaskan peluru lagi pun tak jadi. Bingung rasanya menyaksikan mereka tiba-tiba pergi ketakutan. Memangnya aku ini terlihat seram? Apa aku terlihat seperti hantu? Aneh...

Bunyi orang memukul-mukul pintu sedikit mengganggu konsentrasiku tadi, namun biarlah, itu sudah berlalu. Dibuka kembali pintu olehku. Keringat menghiasi kulit ayah begitu banyaknya. Wajah tampannya menuangkan ekspresi marah, khawatir dan bingung.

VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang