XIV [Surga Dunia]

314 37 11
                                    


Melalui udara, dinding dan lantai, bunyi langkah kaki tersalurkan kemudian masuk ke telinga Jisung. Pintu yang membuat celah kecil itu menjadi fokus utama mereka. Langkah mengendap-endap diaktifkan oleh si orang asing. Meski langkahnya sudah sepelan mungkin, tetap sepatunya menghasilkan bunyi. Bunyi derit pintu terdengar tanda dibukanya pintu. Saat pintu kamar yang ditempati Jisung membuka, tak nampak satu orang pun di dalam. Tengok sana-tengok sini, satu makhluk pun tidak terdeteksi mata. Ke mana perginya mereka?

Seorang bocah dan pria kekar berdiam di bawah tempat tidur. Keduanya saling berpelukan satu sama lain. Yongguk sempat penasaran dan ingin keluar kamar untuk menyapa orang-orang asing itu dan bersiap menghajarnya jika berani macam-macam, namun Sang Adik melarang keras. Pria asing di barisan paling depan, yang membuka pintu, hendak berjongkok untuk memeriksa bawah tempat tidur karena hanya tempat itu yang tersembunyi.

“Berkumpul semuanya!” seru seseorang dari luar kamar.

Terpaksa ia menghentikan niatnya kemudian mematuhi perintah tersebut. Lega dadanya, jantung Jisung mulai berdetak normal kembali.

“Kapan kita harus keluar?” tanya Yongguk tak nyaman dengan kesempitan ini.

“Setelah mereka pergi dari rumah,” balas Jisung masih membenamkan wajahnya ke dada Sang Kakak.

“Kalau mereka sampai menyakiti adikku, bahkan membuat setitik luka saja, aku tak akan sungkan memenggal kepala mereka satu demi satu!” janjinya kepada diri-sendiri.

Jenuh menunggu, Yongguk memberanikan diri keluar dari persembunyian. Salah satu matanya dijadikan alat pengintip dari sela pintu. Pria tadi cukup baik, ia mengembalikan posisi badan pintu seperti semula yang hanya menyisakan celah kecil. Manusia yang hadir di ruang utama tidak hanya sekumpulan orang asing itu, tapi ada orang dalam yang ikut berdiskusi. Berjenis kelamin wanita, umurnya kurang-lebih sudah setengah baya, rambutnya terurai panjang dan sedikit kusut, wajahnya tampak familier, kira-kira begini deskripsi yang menunjukan rupa sosok itu. Wanita itu adalah ibunya Jaehyun dan Chani.

Satu kepala dari kumpulan orang tersebut menengok ke belakang. Secepat kilat Yongguk menyembunyikan kepalanya yang tadi berada di depan celah kecil. Selamat, timing yang pas. Yongguk mencari sesuatu. Sebuah senapan laras panjang bersandar di samping rak berisi buku. Itu salah satu senjata kepunyaannya. Jisung yang sedang meringkuk di bawah tempat tidur, melihat Sang Kakak melangkah keluar sembari membawa-bawa senjata api. Sang Adik segera berguling-guling keluar dari bawah tempat tidur lalu bangkit. Sayang sekali, ia kalah cepat, Sang Kakak sudah lebih dulu membuka gerbang menuju kematian.

“Mau apa kalian ke sini? Kau juga wanita jenius, ada urusan apa dengan orang-orang ini? Apa kalian sedang bersekongkol untuk melancarkan suatu misi rahasia? Sepertinya begitu...” duga Yongguk yang belum memiliki bukti kuat namun ia sudah yakin dengan kesimpulannya.

Semua mata teralihkan pada pria yang menantang maut ini.

“Heh, jangan asal bicara! Mereka di sini berniat menyelamatkan kita!” beliau menyangkal sambil berkacak pinggang.

“Mana buktinya?” senyum menantang pria itu tampilkan.

Keluar dari lingkaran salah satu dari mereka, ia melangkah menuju Yongguk. Berhenti laju kakinya di jarak satu meter antara dirinya dengan Sang Tuan Rumah. Dia mencopot helm tertutup dari kepalanya. Yongguk tanpa perlawanan langsung menurunkan senjatanya.

“Himchan? Bukannya kau ditugaskan di kota lain?” itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan usai menyaksikan keberadaan orang tersebut.

Itu temannya, lebih tepat disebut sahabat. Keduanya sudah saling mengenal sejak di bangku Sekolah Menengah Atas.

VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang