Jaehyun"Terus berlari, sebentar lagi kita akan selamat!" perintahku dan dipatuhi langsung oleh bocah ini, meski tampaknya ia sudah di ambang batas kemampuan.
Perjalanan menegangkan kami terus berlanjut. Toko SM yang aku sebutkan telah hadir di depan mata. Di luar dugaan, keberadaan mobil Mingyu belum diketahui. Mobil hitam tersebut tak ada di mana pun mau berapa ribu kali diriku memindai lingkungan sekitar. Diri ini hampir saja mengutuk, namun entah dari mana muncul deru mesin mobil. Rasanya itu semakin mendekat. Bunyi klakson serasa meninju indra pendengaran kami. Asal suara dari belakang, jadi kami langsung melompat ke trotoar jalan. Benar, ada orang gila yang menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi hendak menabrak kami. Secara mendadak mobil itu berhenti dan gesekan antara ban dengan aspal terdengar keras -bisa dibilang mirip drift. Kaca jendela gelapnya membuka menampilkan siapa sosok di balik mobil gila ini.
"Cepat naik, penakut!" suruhnya dengan sangat tidak sopan.
"Kau ingin membunuhku, heh?!" balasku sedikit tersulut emosi.
Kuberi isyarat untuk naik pada Jisung. Kami segera naik sebelum para predator menyentuh diri kami. Mingyu melajukan mobilnya kemudian memutar balik, entah untuk apa ia melakukan ini. Mobilnya terdiam namun suara mesinnya jadi menggebu-gebu beberapa kali hingga akhirnya ia menancap gas sampai habis dalam sekali injak. Laju mobil meningkat dengan cepat dan kini melaju layaknya mobil di arena balap. Sahabatku ini mengendarai mobil bak orang mabuk, namun aku yakin ia seratus persen tidak mabuk. Siapa pun yang menghalangi jalan, ia libas, ia tabrak, ia gilas, seperti tak pandang bulu. Sebagian ada yang selamat karena berhasil menghindar. Body mobil yang bersih dan mulus menjadi lecet dan kotor, kotor oleh darah.
"Kapan lagi aku bisa seperti ini, aku berhutang budi pada mereka yang membuat dunia ini hancur." rasa senang tergambar jelas di wajah orang kurang waras ini.
Mingyu kini bisa kebut-kebutan dan melakukan hal gila lain dengan pacarnya, si mobil tanpa harus takut berurusan dengan polisi. Makanya ia merasa jadi raja jalanan setiap kali ia berkendara. Dunia ini menjadi begitu bebas sekaligus juga tidak usai malapetaka ini yang menimpa entah berapa bagian dunia.
"Mati kalian, orang gila!" puas sekali Mingyu menabraki kawanan predator yang sedari tadi memburu aku dan si bocah polos.
Sampai tiba di tempat tujuan, laju mobilnya masih tak karuan. Mungkin selama ini aku tinggal bersama orang gila. Nyawa kami tetap bertahan di dalam tubuh kami berkat kehadiran pria tampan berkulit sedikit gelap ini. Jadi meski ia bisa dibilang tak waras, tapi ia sangat berguna.
"Nak, ayo turun. Kita sudah sampai," ajakku membuka pintu mobil lebar-lebar.
Semenjak Mingyu menancap gas seperti orang gila, anak kecil ini menutup wajahnya dengan tangan. Anak yang malang, ia pasti ketakutan.
"Jadi kita sudah sampai?" perlahan ia singkirkan kedua tangannya dari wajah.
Aku mengangguk. Wajah tegangnya luntur, senyum pun terbit dan menyilaukan siapa pun yang melihatnya. Kita semua sudah berada di dalam zona aman. Mobil diparkirkan Mingyu di dalam garasi markas kami. Yang kami tempati ini sebenarnya rumah Mingyu, namun sekarang lebih sering disebut markas dan rumah keduaku. Soal rumah pertama sudah aku tinggalkan karena sesuatu. Dengan rela, Mingyu mau berbagi tempat tinggal denganku dan beberapa teman lain. Kami berlima tinggal satu atap, saling membantu dan melindungi satu sama lain. Satu-persatu dari mereka tak bisa terus menetap. Setiap berapa lama sekali ada saja yang meninggalkan barangnya di sini dan pergi entah ke mana, ada pula yang harus meregang nyawa di dalam rumah ini. Ceritanya panjang, penuh luka dan air mata.
Mingyu sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Ketika aku dan si bocah polos memasuki ruang tengah, ia sedang duduk di sofa dengan santainya. Begitulah kebiasaan Mingyu setelah tak ada lagi yang namanya sekolah, tugas dan belajar. Hidupnya seperti merdeka, sangat merdeka. Apa pun bisa ia lakukan, tak ada halangan kecuali alam liar di luar sana. Ia hanya malas-malasan di dalam rumah. Sesekali jika ia bosan, ia akan pergi keluar mencari teman bermain. Pulang-pulang ia selalu membawa pakaian kotor bersimbah darah -tapi ini bukan darahnya sendiri. Seringkali aku khawatir dengan permainannya tersebut yang menantang maut, takutnya ia tak pulang-pulang atau pulang dengan membawa petaka. Kalau ia mati, maka timku mau tak mau harus berkurang lagi. Kalau ia membawa petaka, secara tidak langsung ia pun bukan lagi timku dan bisa jadi aku yang mati ditangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
V
Fanfiction"Kata Ayah, dunia luar itu sangat berbahaya!" ujar seorang anak lelaki bernama Jisung. Hidup terisolasi dari dunia luar sudah menjadi konsumsi sehari-hari Jisung dan kedua kakaknya. Dinding, tanah, dan pintu berlapis menjadi penghalang mereka berint...