Sekolah Dengan Nama yang Membekas

54 1 0
                                    


Cirebon, 2003

Tidak ada yang berubah dari suasana sekolah dimanapun setelah libur semester berakhir. Tetap dengan letak kelas dan tata lingkungan yang mainstream. Jika ada perubahan, itu hanya renovasi bagian-bagian sekolah yang sudah rusak atau pembaharuan inventaris, seperti atap, pintu, papan tulis, dan perangkat sekolah lainnya. Padahal selama perjalanan menuju sekolah, aku berkhayal akan ada sesuatu baru di sekolah, seperti rumput lapangan sepakbola yang sudah hijau, pohon kersem di halaman sekolah yang sudah besar, pohon mangga yang sudah berbuah, halaman bermain yang tertata memang dibuat untuk kami, dan banyak lagi fantasi menyenangkan lainnya. Namun tetap saja, sekolah luar kota tetaplah sekolah luar kota, pembangunannya tidak secepat di kota. Teman-teman sekolah pun tidak ada yang berubah, tetap bersama si jail, si pembuat onar, si mulut ember, si profesor, si ketua kelas, si pendiam, si pelawak, dan masih banyak lagi.

Aku masih 7 tahun, baru saja beranjak satu tingkat dari kelas 2 sekolah dasar. Aku tinggal di bagian kabupaten, jauh dari kota, jauh dari kata kehidupan yang mewah. Sekolahku pun sangat sederhana. Sarana dan prasarananya pun masih alakadarnya namun sudah cukup untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Beberapa kelas harus berbagi dua shift masuk sekolah. Aku bersyukur karena banyak teman-teman di sekitarku di tengah keterbatasan. Kebersamaan kami tanpa batas, bergaul dengan siapa saja, bisa berangkat sekolah bersama, berceloteh tentang hal-hal tidak masuk akal sepanjang tapak melangkah. Sampai di sekolah, bertemu guru-guru yang seperti hantu dan malaikat, guru yang cerewet, dan penjaga sekolah yang darah tingginya semakin parah. Pulang sekolah diiringi nyanyian riang, belajar bersama di salah satu rumah secara bergantian walau lebih banyak mainnya, menikmati libur semester yang panjang dengan melancong ke tempat-tempat menakjubkan, kemudian lakukan lagi hal serupa di kemudian. Seperti itulah siklus hidup anak kecil yang merajut mimpi. Sungguh kekayaan masa kecil yang tidak bisa dibeli.

"Teeeet...! Teeeet...! Teeeet...!". Sinyal aku harus menyiapkan kembali fisik dan kepalaku untuk menyambut pelajaran baru di kelas yang lebih tinggi mulai nyaring, terutama ini hari senin, hari upacara bendera. Pembagian kelas sudah diumumkan sehari sebelum masuk. Aku ditempatkan di kelas 3A dimana itu adalah bagian kelas shift pagi. Aku dan teman-temanku bergeras menuju kelas mengambil topi upacara dan segera berbaris rapih di lapangan, dikomandoi oleh seorang guru yang mengatur barisan kami agar tertib dan rapih. Barisan pun diatur berdasarkan jenis kelamin. Sebelah kiri barisan perempuan, sebelah kanan barisan laki-laki.

Sorot matahari tanpa awan pukul tujuh pagi membuat aku semakin tidak niat untuk masuk sekolah. Rasanya ingin pulang saja ke rumah, tidur atau bermain Play Station : Winning Eleven. Menghibur diri dalam suasana seperti ini memang terasa lebih nikat dan menjadi dongkrak semangat, seperti menjahili teman, menyindir, dorong-dorongan seperti menonton konser, dan macam-macam. Teman-teman yang lain saling mendorong. Bagian menariknya adalah ketika anak-anak perempuan sudah naik darah. Tanpa kata, hanya tawa. Kami melakukannya untuk menghibur diri tanpa takut tercatat dosa sekolah. Sampai guru naik pitam, itulah akhir dari hiburan kami. Lalu kami lanjutkan dengan perbincangan. Seorang teman menyapaku.

"Hei, Dinar. Apa kabar?" Guna menyapaku di dalam barisan

"Yah baik gun, seperti biasanya, ini hari yang menyebalkan" jawabku dengan mood yang tidak bagus

"Namanya juga senin, Din" perkataan pasrahnya sambil menyenggol lenganku, membuat aku tidak bisa berkata apa-apa dan ikut pasrah.

"Haaah, aku ingin liburan lagiii!" keluhku dengan nada teriak, aku lepaskan hingga semua menoleh padaku.

"Heh, Dinar. Liburannya nanti lagi, sekarang sekolah dulu yang rajin." Jawab Pak Nandi, guru yang mengatur barisan kelasku.

"Iya, din. Nanti lagi, sampe mang aman jadi bos minyak di arab" temanku Ezra, teman main rumahku yang berada dalam barisan ikut menambahkan. Mang aman ibarat "Hulk" nya sekolahku. Ia adalah penjaga sekolahku rangkap dengan petugas kebersihan. Jika sudah dibuat kesal, ia akan meluapkan emosinya. Barang apapun ditangannya dengan tingkat akurasi tinggi bisa dibuatnya melayang hingga mengenai target. Teman-teman hanya bisa terbahak-bahak mendengar celetukan Ezra.

About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang