Sayonara

20 0 0
                                    


4 Juni 2007

Sudah sejauh ini kaki kita melangkah. Waktu tidak membiarkan kita menarik kembali apa yang sudah terjadi di masa lalu. Ia selalu membawa kita bergerak maju, meninggalkan yang sudah berlalu menuju satu titik tuju. Entah apa yang dituju, semua punya tujuan akhir masing-masing. Semua menentukan pilihannya masing-masing, dan waktu hanyalah fasilitator untuk kita mencapainya.

Kita sudah sejauh ini. Inilah akhir masaku dimana jatuh cinta di masa kanak-kanak benar-benar tidak mengenakkan. Banyak hal yang sudah terjadi. Jika dikumpulkan semua gambaran itu, aku yakin tidak ada yang bisa menampung semuanya. Air mata yang kita jatuhkan mungkin tak terkira. Atau kau lebih banyak menumpahkannya dibandingkan aku. Berapa liter kau keluarkan air matamu sejauh ini? Berapa banyak lembar tissue yang kau ambil untuk mengusap air matamu? Sayangnya aku tidak bisa menanyakan hal itu. Aku pun sepertinya merasakan apa yang kau rasakan. Di bully oleh banyak teman-teman. Dianggap orang dewasa oleh mereka. Aku melakukan apa saja yang mereka mau demi untuk mendapatkanmu, padahal itu hanya untuk hiburan mereka. Tidak apa-apa bagiku. Namun maafkan aku jika itu menyakitimu.

Tak ada ruang percakapan lagi diantara kita sejak semua hal itu dimulai. Sejak aku menyatakan aku menyukaimu, kemudian kita saling mengikat kelingking, kau dan aku berteman. Aku mengejarmu, memberitahumu aku mengikuti lomba dan terus memenangkan lomba, aku selalu memberimu rekaman penampilanku secara sembunyi-sembunyi dan responmu hanya sekali, dan aku selalu mencuri waktu untuk menemuimu hanya sekedar memberitahumu aku memenangkan lomba dan melangkah menuju babak berikutnya. Kau terus membalasnya dengan acuh seolah kau tidak ingin berteman denganku lagi. Aku tak sadar ada banyak pasang mata tertuju di belakang kita. Mereka seperti wartawan. Mencuri-curi informasi yang akhirnya hanya dijadikan bahan obrolan hangat di sekolah. Hangat. Bisa saja menjadi panas jika suhu dan suasana mendukung, yang akhirnya akan berhujung pada keadaan aku harus melakukan yang mereka mau demi bisa denganmu.

Aku bodoh. Kau setuju, kan? Jika kau tidak tahu, akan kutunjukkan kembali. Mungkin kau boleh saja hilang ingatan. Tapi jejak kaki yang kita tinggalkan tidak akan pernah hilang. Demi kamu, aku rela memungutnya kembali. Seperti inilah albumnya. Kau tahu aku mengakui perasaanku di depan teman-temanku. Sampai-sampai kau ikut dipecundangi oleh mereka. Padahal kau hanya menyelesaikan apa yang sudah aku lakukan. Padahal kau ingin kita berteman dan menjalani masa-masa kecil kita dengan bahagia, bersama-sama tumbuh di satu atap yang sama. Kuanggap yang lalu sudah ditutup rapih. Namun nampaknya tidak hanya aku yang kecanduan drama televisi. Apalagi ketika itu demam Meteor Garden sedang merajalela. Kisah cinta antara dua sejoli yang saling bersebrangan namun jauh di hati kecilnya mereka saling mencari dan mencintai. Bukankah setelah kejadian itu kita sedikit mirip seperti itu, Den? Kita seperti Tao Ming Se dan San Chai yang diibaratkan anjing dan kucing. Pertama kali kau memakiku rasanya bukan seperti disiram air panas. Rasanya seperti kau menghamburkan kelopak sakura di depan wajahku dengan sangat keras.

Jujur aku malu mengakuinya. Bahkan untuk mengatakan sepatah dua patah kata padamu di kelas pun aku tidak bisa. Sampai-sampai aku harus bersembunyi. Aku tidak sanggup menunjukkan wajahku di depanmu. Ditambah lagi sepertinya kau menatapku dengan tatapan penuh dendam. Mata itu. Aku senang melihatnya. Aku memang pantas disalahkan.

Bagaimana tidak? Cintaku mungkin bertepuk sebelah tangan. Tapi aku tidak menyerah hingga rela dipermalukan di depan banyak orang. Sampai-sampai aku malu sendiri. Aku sadar, Den, tingkahku mungkin sudah kelewatan. Aku tidak lebih hanyalah lelaki pengecut yang tidak bisa menyatakan persaannya.

"Oi, Din. Kamu ngapain di bawah?" tanya Imam keheranan melihatku duduk di bawah meja.

"Ngambil pulpen, mam. Kenapa?" jawabku dengan beralasan.

About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang