Semua masih terasa asing dimataku. Hal-hal yang aku temui di hari kemarin tidak nampak di hadapanku. Dengan teman sendiri bahkan aku merasa seperti orang lain. Wajah-wajah dan gaya penampilan lama, sebenarnya aku sering bercengkrama degannya dulu. Keceriaan sekolah yang terasa sebelum memasuki liburan sekolah seolah mengabu terbakar matahari. Memasuki kelas pun banyak yang baru. Aroma cat hingga tekstur kayu dari meja dan kursi yang terasa halus tersentuh menambah kesan asing di benakku. Kali ini kepala sekolah rupanya melakukan peremajaan inventaris. Banyak kelengkapan sekolah yang rusak karena ulah kami atau kotor karena kami membuat sebuah mahakarya dua dimensi.
Aku masih merasa aneh. Aku tidak percaya sekarang aku sudah kelas tiga SD. Kepalaku terus berputar-putar. Mataku terus berproyeksi tentang apa yang ada di kepala. Apa yang akan aku hadapi kedepannya? Bagaiman aku akan melaluinya? Aku bingung. Rotasi di kepala sulit di bendung, memaksa raga untuk siap tidak siap menerima pelajaran baru di kelas baru. Tentu jika naik kelas pelajaran yang akan ditempuh semakin sulit namun berharga. Jantungku seperti berparade. Dentumannya kian tak berirama. Entah apa yang aku takutkan, atau ada hal lain yang memicunya. Ini pertama kalinya aku seperti ini. Biasanya aku menghadapi awal masuk sekolah dengan perasaan yang biasa saja. Kujalani saja semuanya sesuai alur yang sudah ditetapkan dan sesuai aturan yang berlaku. Aku tidak peduli. Mata pelajaran apapun yang mengawali semester ini akan aku hadapi walau sesulit apa pengetahuannya dan perlu sedalam apa pemahamannya.
Matematika.
Hari pertama di sekolah langsung disambut dengan mata pelajaran yang menguras otak. Mata pelajaran itu seolah momok bagi semua siswa dimanapun, aku tak terkecuali. Seperti korban-korban yang siap dimangsa oleh monster, mereka menakuti mata pelajaran ini. Berbagai materi pelajaran mereka perhatikan dengan penuh gairah padahal hanya ditelan mentah-mentah. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Hampir tak ada satupun yang menyangkut.
Hawa dingin pagi hari masih menyusup menusuk-nusuk tubuhku hingga merinding. Bu Mastini mengajar mata pelajaran ini setelah mengabsen siswa-siswi di kelas. Semua anak memperhatikan. Banyak yang terkantuk-kantuk. Aku demikian. Bagiku matematika hanyalah persoalan hitung-hitungan sederhana yang membosankan namun butuh berpikir keras. Memang sebelumnya prestasiku bisa dibilang yang terbaik. Aku selalu mendapat beasiswa dari perusahaan tempat ayahku bekerja. Namun bagiku beasiswa tak lebih dari sekedar uang jajan tambahan yang bisa aku jajankan sesuka hati.
"Hooaahm...." rasa kantuk mulai membuaiku bersama angin pagi yang masuk ke ruangan melalui kisi-kisi, begitupun dengan teman sebangkuku, Arif. Materi baru diajarkan dalam kelas 3 ini. Operasi hitung perkalian dan pembagian. Di dalamnya terdapat berbagai sifat penghitungan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hasil, ada sifat komutatif, sifat asosiatif, dan sifat distributif. Apa itu? Anak SD sepagi ini sudah dijejali dengan berbagai macam istilah alien seperti ini. Embun pagi rerumputan sekolah pun bahkan belum siap memudar menguap bersama ultraviolet. Bahkan ia enggan memercikan kesegarannya pada wajah kantukku dan teman-teman. Yang aku tahu penghitungan itu sangat sederhana dan bisa dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan hasil yang sama. Seperti 3 x 4 = 4 x 3, maka hasilnya akan sama 12. Kakakku mengajarkan seperti itu. Sederhana.
"Sifat komutatif adalah sifat pertukaran yang didasarkan pada hasil yang sama" bu Mastini menerangkan dengan sangat detail. Aku tidak mengerti bahasanya. Terlalu baku. Sampai mataku sayup-sayup memperhatikan papan tulis. Aku tersadar ketika bu Mastini memberikan contoh dari apa yang beliau terangkan. Ternyata seperti yang diajarkan kakakku di rumah namun ia tidak memberitahuku sifat apa itu.
Aku tetap saja tidak bisa memperhatikan. Pandanganku kembali lagi ke belakang, memperhatikanmu yang dengan serius menatap papan tulis dan guru di depan. Dengan tekun kau mencatat apa yang diterangkan guru. Kau terlihat anggun, seperti Rapunzel yang sedang membaca puisi. Dan rupanya kau menyadari aku terus memperhatikanmu. Seketika langsung kulempar mata dan mukaku, memalingkan dari matamu yang menatapku dengan ekspresi biasa namun terlihat lucu. Kali ini aku lebih memilih memperhatikan guru yang mengajar. Kupikir lebih baik daripada tidak ada satupun materi yang masuk ke kepalaku, aku bisa termakan omonganku sendiri ketika aku bercanda dengan Guna lagi sewaktu-waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
About You
RomanceTentangmu, ada pertemuan yang mengesankan Tentangmu, ada perpisahan yang menelan kesedihan Tentangmu, ada kehilangan yang menumbuhkan kerinduan Dan tentangmu, ada kenangan yang mengukir senyuman Pada satu waktu, kita akan kembali pada nostalgia, kem...