Tak Seperti Taman Yang Biasanya

20 0 0
                                    

"Dena!" di persimpangan jalan pulang aku memanggilmu dari belakang, aku melihatmu mengambil arah pulang yang salah.

"Hai, Din." kau tersenyum tapi matamu sedikit berkaca-kaca.

"Kamu mau kemana?" tanyaku heran.

"Aku mau pergi jauh, Din. Aku mau tenang." jawabnya

"Maksud kamu apa?" tanyaku bingung

"Entahlah. Pokoknya aku mau ngerasa tenang."

"Loh, Den. Tunggu dulu. Kamu mau kemana?" aku menggenggam tangannya, menahannya pergi tak tahu tujuan

"Aku mau pergi, Din. Sampai jumpa." dena melepas tanganku perlahan, kemudian melambai kecil.

"Den! Dena!" aku terus memanggilnya dan tak bisa menahannya.

Dan sebuah kejutan pun membuka jendela mataku sangat lebar, menyadarkanku yang sudah berada di bawah tempat tidur. Jantung berdegup sangat kencang, cepat, tak beraturan, melebihi efek dari kafein kopi di pagi hari. Kerak di sekitar mataku lebih tebal dari biasanya. Matahari yang baru segera menyambut masaku yang baru. Sekolah Menengah Pertama, dimana masa seorang anak baru mengenal dunia luar dan menghadapinya sendiri dengan kakinya yang terus bergerak maju.

Pagi ini terasa berat. Tubuhku serasa terhantam ke tanah ketika aku mencoba melangkah. Apa aku baru saja bermimpi? Apa itu, apakah sebuah isyarat? Aku tidak tahu. Yang ku tahu, dia baru saja pergi entah kemana dan apa alasannya saat itu. Aku pun sadar. Dena tidak melanjutkan SMP nya ke sekolah yang aku tuju. Dan sepertinya ia melanjutkan ke tempat yang sangat jauh dari sini. Kebanyakan teman-temanku meneruskan sekolahnya di tempat yang sama denganku. Walaupun tidak semuanya, tapi mayoritas. Sebagian lagi melanjutkan ke sekolah yang tidak begitu jauh. Setidaknya tidak di luar kota. Melihat banyak teman-teman semasa SD ku di sekolah yang baru, ibarat pindah sekolah saja. Entah mengapa aku merasa tidak sebahagia yang lain. Puas tidak puas. Hatiku... tidak. Bahkan ragaku mungkin masih bermandikan tanya tentangnya. Tanya yang belum sempat kau puaskan dahaganya, Den.

Seperti biasa, Ibu selalu sibuk dengan urusan dapurnya sebelum sibuk dnegan urusan di sekolahnya. Keluar belanja bahan makanan untuk diolah. Sekembalinya di rumah, ia langsung bergegas ke dapur untuk memasak menu sarapan. Yah, Ibu kali ini sedikit rewel, terlebih dua anak pertamanya sedang menginjakkan kaki di pendidikan yang satu tingkat lebih tinggi. Yup, Teteh baru saja diterima kuliah di Bandung, dan hari ini ia akan berangkat kesana. Dan aku pun harus berngkat pagi untuk mengikuti masa orientasi sekolah. Kami anak-anaknya pun hanya bisa menurut mengikuti yang sudah diatur Ibu. Memang. Ibuku adalah sosok yang luar biasa.

Setelah semuanya siap, aku dan teman-temanku berangkat menuju sekolah. Jaraknya memang lebih jauh dari sekolah saat SD. Langkah demi langkah yang masih terasa sama sensasinya saat SD. Bercanda, saling menjahili, dan berlari, kupikir ini tidak akan sulit untuk memulai menulis buku baru disana. Dan makin terasa sama saat aku melintas di depan rumahnya. Rumah Dena. Aku mencoba untuk memandanginya sambil tak kuhentikan langkahku. Apa dia ada di dalam sana? Atau dia pergi kemana? Sekilas aku melihat seorang bapak-bapak tua yang sama saat aku melihat Dena dijemput oleh orang itu. Itu ayahnya kah? Mengapa ada di sini sedangkan Dena nya entah kemana? Sebenarnya aku ingin menanyakannya, namun aku siapanya? Aku tidak punya hak untuk tahu keberadaan Dena.

Tapak ini sedikit menggelikan buatku. Setiap ketukan langkah sepatunya mengingatkanku padamu. Kenangan yang terlantun dengan merdu dan tergambar dengan lucu. Ah, aku merindukanmu, Den. Kulemparkan senyum pada kakiku ketika aku berjalan tertunduh. Tolong jangan buat aku gila. Jangan membuatku terus berandai-andai "Ah, coba kamu satu SMP lagi denganku". Mungkin ini semua sudah rencana-Nya. Tuhan Maha Asyik. Ia sangat tahu kondisi hatiku dan hatinya dan lebih tahu seperti apa skenario yang harus terjadi untuk menyayangi dan mengasihi hamba-Nya.

About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang