"Biarkan mereka masuk, See."
Tiga orang pria dewasa dengan satu orang wanita memasuki ruangan berlatar tembok kecoklatan itu lima menit setelah seseorang yang tengah duduk di sana menyampaikan perintahnya. Ia membalas anggukan sang wanita sebelum wanita itu permisi meninggalkan ketiga pria itu di sana.
"Bisa aku melihat wajah kalian lebih dekat?"
Itu adalah salah satu kelebihannya, mengalihkan satu kata dengan kata yang lebih sulit dipahami. Syukurlah salah satu dari pria itu rasa-rasanya langsung paham karena dia segera maju menuju mejanya. Ia tersenyum penuh rahasia, membuat ruangan itu terasa memiliki misteri.
Melalui kaca mata pengamatannya yang terkenal di antara bawahannya selalu memiliki pandangan yang berbeda, ia melihat satu potensi yang besar di tiga anak Adam yang berdiri tegak layaknya tentara siap perang. Tawanya pun tak urung ia sembunyikan dengan pemandangan itu. "saya bukan direktur yang kaku, asal kalian tahu. Jadi saya akan dengan senang hati menawarkan agar kalian lebih mengambil sikap rileks dan santai."
Nash, Rios, dan Jonathan adalah nama dari tiga pria itu. Pakain beratasan putih dengan bawahan hitam yang mereka kenakan saat ini sudah sangat menjelaskan apa yang sedang mereka lakukan di sana.
"Terus terang saja, sebenarnya kalian bertiga sudah resmi diterima bekerja di sini." Begitu kata wanita itu dengan sangat jelas. Lagi, ketiga pria itu membuang napas lagi-lega rasanya. "Hanya posisi kalian tidak akan sama."
"Tapi saya tetap ingin di bagian bawah manajerial seperti yang sebelumnya saya tuliskan di lamaran saya," pria itu langsung mendapat cubitan dari dua orang di sampingnya setelah mengatakan hal bodoh itu. Sebenarnya itu bukan hal bodoh bagi Nash. Toh ia memang hanya mau bekerja jika ia diterima di posisi itu. "Kalian diamlah, aku juga tidak akan keberatan jika kalian akan tetap bekerja di sini." Kata Nash pada kedua temannya, berusaha menyingkiirkan dua tangan yang bersiap untuk mendarat di perutnya lagi.
Wanita itu berdehem, "bagaimana jika posisimu justru lebih baik dari yang kau minta?"
Nash mengerutkan kening, "tapi, itu sudah posisi yang bisa dibilang lumayan bagus untuk fresh graduate dan tidak berpengalaman seperti saya." Katanya. Nash selalu mengutamakan hal-hal yang menurutnya masuk akal, jadi ia akan menolak sesuatu yang berlebihan tanpa tau alasan di belakangnya.
"Kalian berdua keluarlah, tanda tangan kontrak kerja ada di bagian sekretarisku," wanita itu mengalihkan pandangannya dari Rios dan Jonathan, "kamu tetap di sini, sepertinya kita butuh bicara jika kamu berkenan."
Setelah kepergian kedua teman seperjuangannya, Nash hanya bisa membatu mengikuti gerak gerik wanita di deberang meja. Menurut pengamatannya di jam antik yang ada di atas meja, mereka sudah berdiam seperti itu selama tujuh menit tiga puluh detik.
"Hmmm ..." Nash memutuskan untuk memancing pembicaraan. Ia tidak nyaman di pandangi seperti narapidana seperti sekarang ini. Sayangnya respon yang diberikan wanita itu hanya mengalihkan perhatiannya dari teh di tangannya ke berkas-berkas yang dikenali Nash sebagai surat lamaran dan beberapa pendukung kemampuannya.
"Saya hanya melihat kemampuan yang bisa kamu berikan dapat lebih dari yang kamu inginkan," ia melihat-lihat lagi berkas itu. "ini bukan soal apakah kamu baru saja menyelesaikan sarjana atau pengalaman di bidang ini belum ada."
Nash semakin mengurut alis, kenapa orang itu dari tadi terlalu banyak menggunakan waktu dengan boros tanpa satu poin inti?
"Ah, oke, begini, Christian, saya menginginkan kamu duduk di posisi yang hampir mirip dengan asisten saya,"
"Lalu apa nama posisi itu?"
"Tidak ada."
Baiklah, pikiran Nash yang selama ini begitu memimpikan dapat bekerja di perusahaan itu sepertinya salah besar setelah mendengarkan jawaban wanita itu. Awalnya ia juga ragu kalau wanita di balik nama pimpinan itu adalah nomor satu di perusahaan ini. Hari ini ia sadar, ada pemimpin bodoh yang menghabiskan waktu untuk memilih karyawan yang bisa bekerja di perusahaannya dan baru saja ia mendapat tawaran untuk posisi yang tak ada nama posisinya. Demi Tuhan ...
"Saya akan mencari pekerjaan di tempat lain dari pada memiliki atasan seperti anda." Nash mengatakannya, meraih berkas dari tangan wanita itu lalu menggeser kursinya sedikit mundur agar ia bisa berdiri. "Permisi, ibu Daniella." Ucapnya membaca papan nama yang berukir di atas meja. Sungguh, ia tak habis pikir.
Nash lupa-benar-benar lupa-banyak anak-anak orang kaya yang hanya menjadi ahli waris dan menduduki kursi pimpinan tanpa tahu apakah orang itu bisa memimpin atau tidak. Tadi ia menyaksikannya. Wanita bodoh yang tidak pantas memimpin perusahaan sebesar itu. Mau jadi apa tempat itu nantinya? Menghasilkan karyawan yang berujung PHK?
"Tunggu!"
Nash menghentikan langkahnya, tangannya masih belum meraih gagang pintu. Satu hal yang harus kalian tahu, dari suara dan penampilannya kalian tidak akan percaya kalau wanita itu bodoh. Ah, apa Nash terlalu kasar mengatainya bodoh?
Nash dapat mendengar pergerakan di belakangnya, tumit sepatu beradu dengan lantai. Terhitung menit, Nash sudah berhadapan dengan wajah arogan nan cantik. Andai dunia tak kejam, ia pasti takkan membiarkan wanita sesempurna ini tinggal lebih lama untuk menguji iman para makhluk Adam.
Wanita itu menggigit bibirnya, andai gengsi tak ada dalam dunia. "bekerjalah di sini. Tugasmu hampir sama dengan saya. Maksudnya begini, tidak ada posisi asisten dalam perusahaan ini namun bisa dibilang posisi yang saya tawarkan seperti itu," menjeda ucapannya, sepasang mata itu berkelana ke sekeliling. "duduklah dulu," tawarnya kemudian menunjuk sofa yang ada di sana.
Langkah itu berhenti di sana lalu mendudukkan diri. Nash ada di ujung satu dan wanita itu di ujung lainnya, dipisahkan oleh meja sepanjang sofa panjang yang ada di kiri kanan meja. Wanita bernama lengkap Daniella Abraham itu menuangkan teh untuk Nash.
"Bagaimana?" tanya Daniella. Nash kini berbalik mengamati ekspresinya. Daniella benar-benar kehilangan kendali dirinya di sini, di bawah tatapan seorang pria muda dengan tampang biasa. Panas dingin adalah hal yang dirasakan Daniella hingga tanpa sadar punggung tangannya meraba kening dan sekeliling lehernya. Ah, tidak mungkin dia akan demam kan?
Waktu berjalan begitu lamanya bagi Daniella, tatapan pria itu masih menguncinya tanpa memperhatikan berkas kontrak kerja yang diserahkan Daniella.
"Sebenarnya ada tujuan tersembunyi apa di balik ini?"
"Apa?"
"Menurut perasaan saya, anda mencoba mempertahankan saya agar mau menerima tawaran anda sementara saya tahu di luar sana banyak orang yang berlomba untuk mendapatkan posisi di sini." Iya, Nash memang benar dan Daniella tak harus membantah perkataan itu. Pendapat orang banyak juga mengatakan itu karena perusahaan itu cukup diminati dengan upah yang bisa dibilang lumayan.
Daniella menggeleng. Ia juga belum menemukan jawaban untuk itu. "Ini penawaran terakhir saja kalau begitu. Jika kamu memang berminat dengan posisi yang saya tawarkan maka tanda tangani kontrak itu sekarang," Daniella menghela napas. Biar bagaimanapun, dialah bos di sini. "jika tidak, silahkan ambil berkas ini kembali dan tinggalkan ruangan ini dan jangan coba-coba muncul kembali di sini." Putusnya. Ini hanya perasaan aneh yang salah, katanya meyakinkan sesuatu yang berdenyut di relung sana. Bagaimana denyutan itu tadi berdetak sesaat matanya memandang satu orang dengan penampilan serba biasa itu. Tidak. Tidak mungkin ia membenarkan perasaan itu.
Daniella membuang muka pada berkas lain yang tadi dipegangnya. Dalam hitungan sepuluh menit ia sudah harus berada di ruang rapat dan urusannya dengan pria itu membuatnya lupa untuk mempelajari beberapa proyek yang harus didiskusikannya dengan bagian manajerial.
Ujung telunjuknya mengambil posisi menaikkan kaca mata di hidungnya seraya meluruskan kaki dan memperbaiki blazernya. "Baiklah, saya rasa keputusan kamu sama saja," melakukan hal yang hampir sama dengan Nash tadi, Daniella melirik jam di tangannya lalu beranjak dari sana.
Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gorgeous
RomanceAda aturan dalam perusahaan yang dipimpin Daniella yaitu tidak diperbolehkan adanya hubungan asmara yang terjalin antara karyawan perusahaan, tanpa terkecuali. "Nash," "Iya?" "Jika seandainya kita yang memiliki hubungan, apakah saya harus memecat ka...