Menang

31 14 2
                                    


"Bagus sekali anak perempuan baru pulang jam segini. Kemana saja kamu?" ucap Papanya.

Ara menghentikan langkahnya, tanpa menjawabnya ia kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

"Beginikah sikapmu kepada orang tua?"

Ara berbalik arah, menatap pria itu dengan berani. Pria yang selalu ia panggil Papa, entahlah Papa dalam artian yang seperti apa yang ia maksud karena sikap Papanya selama ini sama sekali tidak mencerminkan dirinya seperti seorang Papa bagi anaknya.

"Lebih baik anda berkaca dan melihat diri anda sendiri. Sudahkah anda bersikap layaknya orang tua untuk saya?"

Ia mencengkram gelas yang berada ditangannya kuat-kuat lalu melemparnya dengan kasar. "Beraninya kamu menggurui saya?! Kamu lupa selama ini yang menghidupi dan memenuhi keperluanmu, siapa? Susah payah saya mencari uang untuk kamu dan kamu justru berani sekali berkata seperti itu! Anak tidak tau diri!"

Ara mengibas-ngibaskan tangannya. "Bersikap seperti biasanya saja-sebagaimana sikap anda selama ini yang tidak memedulikan saya. Saya sudah terbiasa dengan anda atau pun istri anda yang tidak menganggap saya ada."

***

Ara tak menyukai fajar tiba, ia tak menyukai sinar mentari di pagi hari. Ia lebih menyukai senja, lebih menyukai sinar dewi malam dibandingkan sinar sang raja siang. Karena hanya pada malam hari dalam mimpinya orang tuanya itu memperhatikannya, memberikan kasih sayang yang selama ini ia dambakan-semuanya hanya terjadi dalam mimpinya. Dan kala fajar tiba dan sang raja siang mulai menampakkan dirinya, mimpi-mimpinya akan terenggut dan lenyap dalam sekejap berganti dengan kenyataan-kenyataan gelap yang membuatnya selalu pengap-orang tuanya tidak peduli dan tidak menganggapnya ada.

Meski merasa enggan dan sangat berat hati Ara tetap memijakkan kakinya dilantai kelas. Setelah sekian lama ia selalu terlambat, kini justru datang tepat waktu.

Teman-teman kelasnya yang sudah tiba memandangnya dengan tatapan aneh, seolah Ara adalah manusia yang memiliki penyakit yang mengerikan. Mereka membuang pandangan saat Ara menatap balik mereka satu per satu.

"Tumben banget seorang Mutiara Zevanna tidak terlambat." Celetuk salah satu anak kelasnya yang bernama Tania.

"Mungkin dia udah tobat, guru-guru juga bosan kali menghukum dia mulu." Sambar Sella.

Ara menghela nafas pelan, ia mencoba untuk menahan diri untuk tidak membalas mulut nyinyir mereka.

"Minggu kemarin ada yang sok jadi pahlawan kesiangan gitu."

"Siapa sih orangnya? Denger-denger sih anak kelas ini."

"Iya anak kelas ini yang sering bikin onar itu!" ucap Vanessa dengan matanya yang melirik ke arah Ara.

"Yang lebih mengejutkannya lagi, orang yang dibelainnya adalah-

Ara menggebrak meja sangat keras. Mereka bungkam, tak terdengar lagi suara cibiran-cibiran mereka. Mereka pura-pura menyibukkan diri.

Ara memasang headphonenya dan memilih pergi meninggalkan kelasnya. Ara yang semula ingin mengikuti mata pelajaran dengan tertib kembali kehilangan moodnya, pada akhirnya ia kembali mangkir.

Ara berpapasan dengan bu Endah saat beliau hendak memasuki ruang kelasnya.

"Ara! Jam pelajaran ibu baru mau dimulai. Kenapa kamu keluar?"

Ara mengabaikan suara bu Endah yang seperti mengusik pendengarannya.

"Ara! Kembali ke kelas!! Ara!!" teriak bu Endah.

Ara tetap tak mengindahkan perkataan bu Endah yang ada dalam benaknya saat ini adalah mencari pelarian seperti ke tempat yang sepi untuk menenangkan diri atau kembali ke jalanan untuk memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Pilihannya pun jatuh pada opsi kedua. Ara mengambil handphone yang berada di saku roknya, jemarinya dengan cekatan mengetik nama seseorang di kontaknya lalu menelpon orang tersebut.

KontradiktifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang