.........
Ara memasuki ruang ICU, matanya membeliak ketika melihat pemandangan yang ada di depannya. Gibran sudah membuka matanya, Ara berjalan mendekat.
“Lo udah sadar? Gue panggilin dokter ya.” Ucapnya. Tanpa menunggu persetujuan Gibran Ara keluar dari ruang ICU dan memanggil dokter. Dokter memeriksa lebih dulu kondisi Gibran, dan dokter mengatakan kondisi Gibran sudah jauh sangat baik. Gibran juga sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan biasa dan sudah tidak perlu lagi menggunakan alat bantu pernapasannya. Berulang kali Ara menghela nafas lega setelah mendengarnya, satu beban yang dipikulnya terangkat.
Gibran memandangi wajah tirus Ara dan melihat tubuh adiknya yang jadi keliatan begitu kurus. Ia menelan ludahnya susah payah.
“Lo ngapain disini? Bukannya ini jam sekolah lo?” tanya Gibran.
“Gue bolos.” Ucap Ara dengan entengnya.
Gibran berdecak. “Emangnya otak lo udah secerdas BJ Habibie sampe-sampe lo bolos sekolah?”
Ara duduk di samping Gibran, matanya menatap Gibran malas. “Suka-suka guelah. Ngga usah sok peduli—
“Gue peduli.. karena gue peduli, gue ngga mau lo bolos sekolah. Lo pikir biaya sekolah lo itu murah? Kalo lo udah ngga niat sekolah bilang. Biar digantiin aja sama si Dela, keliatannya juga Dela lebih cerdas dari lo.”
Ara terperangah di tempatnya, untuk pertama kalinya kakaknya itu berbicara panjang lebar padanya. Matanya menatap Gibran lekat-lekat, ia seakan kehilangan kata-katanya. Hatinya terasa menghangat setelah mendengar pengakuan bahwa kakaknya masih memedulikannya. Bagaimana tidak? Karena selama ini Ara hanya merasakan kepedulian Gibran lewat tindak-tanduk sederhana yang dilakukan Gibran, namun itu pun sangat-sangat jarang. Kini, disaat ia mengetahuinya secara langsung, ia merasa bahagia. Dalam hati Ara bertekad untuk mengubah kebiasaan buruknya yang suka membolos.
“Kayaknya dokter salah meriksanya. Makin parah sakit lo, bang.”
Gibran tersenyum simpul. Entah mengapa mendengar Ara memanggilnya dengan sebutan ‘abang’, membuat segala rasa sakit ditubuhnya lenyap seketika. Rasanya ia begitu bahagia mendengar Ara memanggilnya seperti itu. Setelah perlakuan-perlakuannya selama ini yang lebih sering abai, Ara justru masih sangat-sangat perhatian dengannya bahkan masih menganggapnya seorang kakak. Meski ia selama ini belum bersikap layaknya seorang kakak yang melindungi, menjaga, memberikan kenyamanan serta kebahagiaan untuk adiknya.
***
Raja Alfin Rafisqy. Lelaki yang lebih sering dipanggil Raja. Ia adalah salah satu anggota sekaligus ketua geng motor Darkness. Sesuai namanya Raja yang berarti penguasa, ia pun menjadi penguasa di jalan ibu kota. Ia termasuk orang yang disegani oleh para geng motor lainnya. Raja tidak memiliki wajah sangar, atau tubuh yang dipenuhi otot-otot besar sehingga ia disegani oleh para geng motor lainnya. Raja begitu lihai dalam memacu sepeda motornya di arena balap, juga lihai dalam berkelahi serta pembawaan dirinya yang sangat misterius. Namun, hanya ada satu orang yang mampu menandingi Raja, bahkan mengalahkan Raja hingga berkali-kali yaitu Mutiara Zevanna. Seorang gadis dengan pembawaan yang sangat dingin, memiliki tatapan yang tajam dan mengintimidasi. Raja mengenal Ara sudah cukup lama bermula saat salah satu anggota Darkness yang merasa tidak terima karena dikalahkan oleh seorang gadis di arena balap liar. Tentu saja hal tersebut membuat Raja penasaran, dan memutuskan untuk mengajak tanding one by one dengan gadis itu. Di awal pertandingan Raja dapat mengusai pertandingan, namun saat mendekati garis finish Ara mampu menyalipnya dengan perhitungan yang sangat tepat sehingga dapat merebut posisinya di detik-detik terakhir. Raja seakan takluk dalam pesona gadis itu, tapi tidak dengan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontradiktif
Teen FictionMutiara Zevanna. Gadis mungil yang suka berkendara dengan kecepatan yang cukup tinggi. Motornya selalu melesat secepat kilat. Matanya selalu menatap garang apa apa yang ada dihadapannya, tanpa rasa takut sedikit pun. Dibalik perangainya yang selalu...