4k words. Moga ga gumoh pas bacanya :D***
2012
.....
Dimi melepas sepatunya lalu meletakkannya ke rak sepatu. Dibukanya pintu rumahnya dengan hati-hati, menghela nafas pelan baru mengucapkan salam. "Assalammu'alaikum." Ia berjalan memasuki rumahnya sembari mengedarkan pandangannya mencari sang ibu. "Bu, maaf Dimi pulangnya te-"
Ucapannya tertahan ditenggorokkannya kala mendengar suara bising dari balik kamar orang tuanya. Ia jalan berjingjit agar tidak menimbulkan suara, perlahan ia dekati pintu kamar orang tuanya. Ada perasaan was-was yang menyerbunya, ia takut ada sesuatu hal yang terjadi pada ibunya. Tak lama terdengar suara tamparan keras dari dalam kamar orang tuanya. Dimi tersentak di tempatnya, matanya melebar sempurna dan setelahnya pintu terbuka menunjukkan sang ayah yang berpenampilan kacau begitu pula dengan wajahnya. Mata sang ayah membulat ketika melihat jagoannya sedang berdiri di depan kamarnya, ia sangsi bila Dimi mendengar semua pertengkaran-pertengkarannya. Tanpa mengucapkan apa-apa sang ayah pergi meninggal Dimi dan istrinya.
Dimi mengalihkan pandangannya ke kamar ibunya yang minim pencahayaan karena lampunya tidak dinyalakan. Ia melangkah pelan memasuki kamar sang ibu, dilihatnya ibunya tengah meringkuk di samping tempat tidur. Hatinya tercubit melihat ibunya seperti itu, rasa sesak seakan menghantamnya tanpa ampun.
Diraihnya tangan ibunya lalu diusapnya penuh sayang. Sang ibu mendongakan kepalanya dan tersenyum melihat jagoannya sudah pulang. Dihapusnya air matanya, lalu merentangkan tangannya. "Peluk ibu, sayang." Ucap sang ibu parau.
Dimi memeluk ibunya yang dibalas sang ibu dengan usapan lembut di punggungnya. Dibiarkannya ibunya memeluknya tanpa mengatakan atau menceritakan apapun padanya, Dimi hanya ingin ibunya kembali merasa tenang dan tidak merasa sendiri karena ibunya masih memilikinya yang akan selalu di sisi sang ibu.
Baju seragamnya basah karena air mata sang ibu, ibu menangis dalam diam tak terdengar sedikit pun isak tangis yang lolos dari mulutnya. Hati Dimi semakin tersayat-sayat, ia tak kuasa melihat ibunya seperti itu. Ia selalu memastikan ibunya tidak kelelahan, sehingga ia selalu membantu pekerjaan sang ibu sebelum berangkat sekolah dan setelah pulang sekolah. Ia selalu menemani sang ibu di rumah dan bercerita apa-apa saja yang dialaminya di sekolah, ia ingin ibunya merasa kalau ia tidak sendiri di rumah meski ayahnya sibuk bekerja. Ia selalu memastikan tak ada air mata yang keluar dari mata sang ibu, ia selalu ingin melihat ibunya tersenyum dan tertawa bahagia-bukan menangis serta merintih kesakitan. Baginya, pengorbanan ibunya selama ini sudah sangat besar untuknya, melahirkannya pun ibunya sampai-sampai mengorbankan nyawanya, menyapihnya selama 2 tahun, merawatnya dari bayi hingga kini, bahkan rela jam tidurnya berkurang serta pola dan porsi makannya yang berubah hanya untuk dirinya dan ayahnya.
Ibu selalu mendahulukan segalanya untuk anak dan suaminya. Ia mengesampingkan dirinya sendiri, bila hanya ada 1 makanan kesukaannya namun anaknya juga menyukai sang ibu akan mengalah sambil tersenyum memberikan makanannya kepada anaknya. Ketika lelah karena mengurusi rumah pun ibu tidak pernah menunjukkan wajah lelahnya kepada anak apalagi suaminya, ia akan menunjukkan senyum lebarnya kala menyambut anak dan suaminya pulang. Menyediakan teh hangat dan camilan untuk mengusir rasa lelah suaminya.
Sudah banyak sekali pengorbanan kecil hingga besar yang ibu lakukan dan di saat ibunya terluka hingga sampai mengeluarkan air mata Dimi tau dan sadar ibunya sudah tidak mampu menahannya lagi, karena bisa saja segala luka yang selama ini di simpannya seorang diri sudah menganga sangat lebar dan tak akan bisa disembuhkan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontradiktif
Teen FictionMutiara Zevanna. Gadis mungil yang suka berkendara dengan kecepatan yang cukup tinggi. Motornya selalu melesat secepat kilat. Matanya selalu menatap garang apa apa yang ada dihadapannya, tanpa rasa takut sedikit pun. Dibalik perangainya yang selalu...