Pindah

18 5 0
                                    


Tak ada perbedaan berarti setelah kepergian Gibran, kondisi rumahnya masih tetap sama sunyi seakan tak berpenghuni. Sikap orang tuanya pun masih apatis kepada anaknya--yang hanya tinggal Ara. Nilai saham perusahaan Adi seakan terjun payung setelah penyebab kematian Gibran santer dikhalayak publik. Adi semakin workaholic, berupaya mati-matian agar nilai saham perusahaannya kembali dititik stabil hingga lupa bawa salah satu anak yang menjadi tanggung jawabnya baru saja meninggal, hingga lupa bahwa anak bungsunya butuh sosok papa disaat-saat duka seperti ini, membutuhkan sosok papa yang bisa menjadi topangnya disaat  terpuruk. Amira juga tidak beda jauh dengan Adi yang kini menjadi gila kerja bahkan belum genap seminggu jenazah anaknya itu dikebumikan, Amira sudah bertolak ke Paris untuk menjalani proses pemotretan untuk salah satu brand ternama. Akibat ia berkecimpung dalam urusan mencari nafkah Amira sampai lupa dengan kodratnya sebagai seorang ibu, ia lupa akan kewajibannya. Mata hatinya sudah dibutakan dengan kenikmatan harta yang sifatnya fana, hingga mengabaikan harta paling berharga yang justru bisa menjadi penyelamatnya diakhirat kelak yaitu anak-anaknya yang dititipkan oleh Allah.

Ara duduk di sofa yang ada di ruang tamu, matanya terpejam dengan kedua tangannya memeluk bantal sofa. Terdengar suara pintu terbuka dan derap langkah orang, tanpa membuka mata Ara pun sudah tahu siapa yang datang, bibirnya melengkungkan senyum sinis.

Adi melonggarkan dasi yang dikenakannya, matanya terpaku melihat Ara. Emosinya mendadak memuncak. Sedangkan Amira hanya melihat anaknya sekilas, lalu menuju kamarnya untuk beristirahat.

"Keluyuran kemana saja kamu?! Bagus sekali malah tidak ada saat pemakaman kakakmu!" Bentak Adi.

Matanya masih terpejam, tak diindahkannya perkataan papanya itu. Kondisinya sedang buruk dan ia enggan harus terlibat adu mulut dengan papanya.

"Jangan pikir selama ini papa tidak tahu kalau kamu ikut balapan liar! Bukannya belajar dengan baik malah jadi anak berandal. Maumu apa sih, Ra?!"

Ara membuka matanya pelan, ia berdecih. "Anda tanya mau saya apa? Keinginan saya tidak muluk-muluk, saya ingin anda dan istri anda menganggap saya ada."

"Saya ingin anda dan istri anda sering di rumah, bukan sibuk kerja kerja dan kerja! Saya manusia bukan benda. Saya butuh kasih sayang, bukan sekadar materi. Saya butuh orang tua yang selalu ada, bukan orang tua yang sekadar menyuplai uang terus-menerus."

"Bukan uang yang saya butuhkan!!" Jerit Ara dengan nafas terengah.

Plakkkk..

Sebuah tamparan keras dilayangkan Adi di pipi Ara. Ara menatap tajam papanya. "Persetan kamu tidak butuh uang!"

Dadanya bergemuruh, Adi menatapnya penuh amarah. Ara melenggang pergi meninggalkan Adi ke kamarnya. Dan, luka itu semakin tertancap dalam di hatinya.

***

Langkah kakinya berhenti saat melihat sosok yang ada di depannya. Ara menatap lelaki di depannya penuh selidik, mengamati dari ujung rambut lelaki itu hingga ujung kakinya. Lelaki itu melambaikan tangan kepada Ara sambil tersenyum lebar menghampirinya yang kemudian disusul oleh pasukannya.
Ara memicingkan mata.

“Hello, my beautiful girl!” ucap Raja, senyum lebar masih menghiasi bibirnya.

“Lo ngapain di sekolah gue?”

Raja membuka kancing jaket denimnya, ia menunjukkan seragam yang dikenakannya dengan badge SMA Garuda di sakunya. Ara menaikkan sebelah alisnya lalu memandang ke belakang lelaki itu, di sana sudah ada Ipul, Dimas, Garry, Seno dan Dicky. Mereka pun turut serta menunjukkan badge SMA Garuda dengan bangga.

Bukan tanpa alasan lelaki itu memilih untuk pindah ke SMA Garuda dan juga mengajak teman-temannya untuk ikut serta pindah sekolah. Semula Ipul, Dimas, Garry, Seno dan Dicky tidak menyetujuinya dan berfikir bahwa keputusan Raja itu adalah kegilaan. Namun, kala melihat Raja yang hanya berlalu dan tetap pada keputusannya untuk pindah akhirnya mau tak mau mereka pun ikut pindah karena mereka sangat menjungjung tinggi kesetiaan pertemanan satu sama lain, kemana pun salah satu dari mereka pergi maka yang lainnya akan mengikuti. Satu dari mereka yang terluka maka yang lainnya pun akan merasa terluka. Katakanlah, Raja memang sering mudah tersulut emosinya, lebih sering bertindak sesukanya dan tidak suka dibantah bahkan kepada mereka—teman-temannya. Kendati demikian, dimata mereka Raja adalah sosok teman yang paling peduli kepada mereka terlebih saat Ipul dikeroyok oleh geng motor The Fast, Raja lah yang maju paling depan untuk melawan mereka dan membela Ipul.

KontradiktifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang