Tantangan

31 5 0
                                    


Hari itu Ara mengubah sedikit penampilannya, ia menggelung rambutnya asal, jaket kulitnya pun berganti dengan jaket jeans berbahan denim dengan baju seragamnya yang dikeluarkan. Ara memang hadir di sekolah tepat waktu, akan tetapi gadis itu tidak hadir dan mengikuti proses belajar mengajar sebagaimana mestinya. Gadis itu justru asik makan di kantin di saat murid-murid lainnya justru tengah sibuk belajar. Ara memakan bubur ayam tanpa mengaduknya. Ara akan kehilangan selera makannya bila buburnya diaduk, ia merasa perutnya akan bergejolak. Dan seperti biasanya, seperti hari-hari sebelumnya ia selalu makan sendirian. Ia sudah merasa apatis dengan kesendiriannya, meski ia mencoba untuk berbaur dengan yang lainnya pun akan percuma. Mereka justru akan menatapnya dengan tatapan aneh dan akan menjaga jarak dengannya, jadi Ara tidak pernah mau lagi mencoba untuk berbaur dan bersosialisasi dengan mereka.

Padahal Ara juga tidak akan menggangu mereka, ia juga bukanlah makhluk mengerikan yang harus mereka takuti. Namun, kabar tak sedap mengenainya yang semakin dilebih-lebihkan lah yang sudah tersebar seantero sekolahnya, membuat murid-murid lainnya yang semula tidak mengetahuinya menjadi cenderung mengenalnya sebagai murid paling bermasalah di sekolah—Ara si biang onar yang patut dihindari.

Ara meneguk teh hangatnya hingga tandas, lalu meletakkan uang dua puluh ribuan di bawah gelas seperti biasa. Mang Arip yang sudah biasa dengan kebiasaan gadis itu akan mengambil uangnya saat ia membersihkan bekas makan gadis itu. Tanpa sepatah kata yang ia ucapkan kepada mang Arip, gadis itu melenggang pergi dari sana kembali jalan-jalan mengelilingi sekolahnya.

Gadis itu kembali memasang headphone di telinganya, lagu The Script yang berjudul Rain memenuhi indera pendengarannya dalam volume yang cukup pelan. Hampir setiap tempat, setiap sudut di sekolahnya yang dilewatinya pasti berpapasan dengan guru-guru yang hendak menuju ruang guru atau pun ruang kelas. Sudah tidak asing lagi bagi mereka melihat gadis itu berkeliaran di jam pelajaran, menegur pun percuma, apa lagi memberikan hukuman untuk gadis itu sudah tidak mempan, berbagai macam upaya telah dilakukan namun gadis itu tetap bertindak sesukanya, semaunya. Ara melengos pergi begitu saja setiap kali berpapasan dengan gurunya, tak ada senyuman yang disunggingkannya untuk menyapa, tak ada pula niat dalam dirinya untuk salim dengan sang guru. Mungkin, apa yang dilakukannya sudah sangat diluar batas, namun bagi Ara selama ini apa yang ia lakukan itu benar karena orang tuanya pun tidak pernah menegurnya entah itu melakukan kesalahan kecil atau besar sekalipun, orang tuanya tidak akan peduli, maka ia selalu beranggapan apa-apa yang dilakukannya selama ini adalah benar.

Ketika ia duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) Ara tidak bersekolah di sekolah pada umumnya, ia home schooling. Ara sering merengek untuk meminta dipindahkan di sekolah umum, namun orang tuanya menolak dan berdalih bila home schooling adalah pilihan yang tepat untuk menghindari Ara dari marabahaya terutama penculikan anak karena pada saat itu tengah marak kasus penculikan anak.

Pikiran Ara pun kembali melayang ke masa kecilnya, kembali mengingat potongan-potongan kecil dari kebahagiaan yang pernah ia rasakan walau hanya sementara.

Saat masih usia kanak-kanak, ia sama sekali tidak menghabiskan masa kecilnya sebagaimana mestinya. Ia tidak bisa bermain dengan anak-anak sebayanya dengan leluasa, dan baru bisa merasakan bermain bersama dengan anak sepantarannya ketika bi Asih mengajaknya ikut serta untuk ke rumahnya, saat orang tuanya tidak ada di rumah. Tak jauh dari rumah bi Asih ada lapangan yang tidak cukup besar, namun selalu ramai anak-anak sebayanya yang bermain. Keadaan yang sangat berbanding terbalik dengan kompleks perumahannya, daerah rumahnya sangat sepi bahkan tidak ada lapangan untuk anak-anak kompleks rumahnya itu bermain.

Mulanya, Ara selalu mengamati mereka bermain dari kejauhan, Ara bingung dan tidak tahu harus berinteraksi seperti apa dengan mereka, terlebih permainan yang mereka mainkan pun sangat asing baginya. Hingga salah satu anak bi Asih kakaknya Dela yang usianya sepantaran dengan Ara mengajaknya untuk ikut bermain bersama teman-temannya.

KontradiktifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang