10) Sandi X Ridwan(2)

6.7K 319 24
                                    

Melihatmu lagi membuatku sakit--Sandi.
__________________________________

2 || Aku tak mengharapkan pertemuan.

"Aku cinta sama kamu!"

Semakin keras aku menyuarakan isi hatiku, semakin keras pula ia menamparku. Aku tidak tau letak salahku dimana, aku hanya ingin menyampaikan perasaan yang sudah lama terpendam, taukah dia bagaimana sakitnya aku memendam perasaan ini seorang diri, perasaan yang yang setiap detik berdetak menusuk-nusuk dihati, tetap salahkan aku jika meringankan beban hati, dengan mengungkapkannya?

"Diam!" Teriaknya didepan wajahku, aku bisa melihat derai air mata membasahi pipinya juga tangan yang beberapa menit lalu menciptakan rasa sakit panas perih pada pipiku, gemetar hebat bersama tubuhnya yang terguncang, "Jangan ucapkan kalimat itu lagi!aku gak mau mendengarnya!!"

Aku menggigit bibir bawah kuat membuat luka, rasa anyir darah merembas tanpa aku pedulikan, organ dalam bernama 'hati' mendominasi rasa sakitnya, seperti inikah rasanya ditolak?

Aku memalingkan wajah, tak sanggup berkata, kami masih diam membisu setelah saling melukai beberapa menit yang lalu-ralat- Ridwan lah yang melukaiku. Seakan masih tak percaya Ridwan berani melakukan ini, menamparku sekaligus memberi pukulan keras yang menghancurkan hatiku berkeping-keping.

Jika boleh memilih, aku pun ingin mencintai seorang wanita!
Merajut kasih seperti pasangan pada umumnya, aku juga ingin!

Tapi, apa daya~
Hasrat dan perasaan ini lebih mencintai seorang lelaki, makhluk yang berjenis kelamin sama denganku. Lalu siapa yang harus aku salahkan dalam hal ini?!

"Kenapa?" suaraku lemah.

"Ini salah! Gak seharusnya kamu memiliki perasaan itu buat aku! Kita ini sesama lelaki, perasaan itu hanya menciptakan sebuah dosa!"

Aku menelan ludah, getir.
"Sejak pertama melihatmu, aku sudah lupa yang namanya dosa,"

Ridwan mengacak rambutnya frustasi. "Tapi aku bukan gay!"

Cukup.

Begitu banyak penolakan.

Aku juga tak memaksa dia menerima perasaanku, aku hanya ingin dia tau. Itu sudah cukup.

'Tapi aku bukan gay'

'perasaan itu hanya menciptakan sebuah dosa!'

'Gak seharusnya kamu memiliki perasaan itu buat aku!'

'Ini salah!'

'Kita ini sesama lelaki'

'Tapi aku bukan gay'

"Cukup!!!!!" Deru nafasku memburu, mataku mengarak kesekeliling melihat fakta aku belum beranjak dari tempat tidur, barulah aku menghembuskan nafas lelah. Kejadian itu sudah 8 tahun yang lalu, tapi rasa sakit dari penolakannya sering sekali mengusik mimpiku.

Sebuah tangan melingkar sepanjang perut, "Kamu mimpi itu lagi ya?" Tanya pria bernama Risky, menyandarkan wajahnya pada punggungku.

Aku merasa bersalah, karna teriakanku mengusiknya, kekasihku ini jadi ikut terbangun, kuraih pundaknya dan melingkarkannya disana.
Tangan kananku mengentuh dagunya, aku tersenyum saat kedua matanya terpejam dan wajahnya masih mengantuk, ah ini masih jam 01:20 WIB.

Aku melumat bibirnya yang sedikit terbuka, hanya sebentar.
"Maafin Mas ya sayang, gara-gara Mas kamu jadi bangun." Ucapku mengecup matanya.

"Aku khawatir sama Mas," Ucap Risky, menelusupkan kepalanya di leherku. Aku menuntutnya berbaring, mengelus pundaknya pelan.

"Mas gak papa kok. Kita tidur lagi ya." Aku mengecup pucuk kepalanya lama, kejadian itu memang sudah lama dan aku harusnya sudah melupakan itu. Hidup bahagia menjalin kasih dengan pria yang juga mencintaiku seperti Risky, harusnya aku bisa melupakan nama Ridwan.

Tapi R.I.D.W.A.N mengukir nama kokohnya, menempati ruang kecil dalam hatiku bersama goresan luka yang mengiringi.

Satu hal penting sekaligus sebuah kemajuan, aku sudah tak peduli perkembangan hidupnya atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Kehadiran Risky yang mewarnai hidupku sudah lebih dari cukup, memberi kebagiaan dan perasaan hangat yang dulu aku cari. Aku sangat mencintai kekasihku ini.

"Mas, aku sudah menemukan supir pribadi yang pas. Jadi, mas gak perlu bolak balik nganterin aku kuliah terus balik kekantor, nanti mas capek," Ucap Risky.

Sayangku ini memang sedang mencari supir pribadi untuk mengantar-jemputnya ke kampus, karna aku sendiri yang melarangnya mengemudi. Sifat posesifku tak ingin dia terluka, aku takut kehilangannya. Pasalnya taun lalu Risky masuk rumah sakit karena kecelakaan saat belajar mengemudi, sampai mengalami masa kritis aku membuatku begitu khawatir sampai menjadi depresi berat.

"Gak perlu supir, mas siap kapan pun nganterin kamu kok, malah mas suka." Ucapku.

"Tapi aku gak mau mas repot," Ucapnya.

Aku menempatkan Risky dalam pangkuanku, "kalau begitu, mas mau lihat CV nya, siapa tau orang itu lebih ganteng dari mas, mas gak rela."

Risky mencubit perutku, membuatku mengaduh minta ampun.

"Hati aku cuma buat mas. Mas, gak usah khawatir soal itu, CV nya lumayan baik kok. Hari ini mas bisa menilai orangnya langsung,"

"Oh ya?" tanyaku mengelus dagu pura-pura ragu, tapi apapub itu asalkan membuat Risky nyaman, aku sebenarnya setuju-setuju saja, terlebih Risky tipe pemilih dan sulit menjatuhkan pilihannya pada sembarang orang. Jadi aku tak usah mengkhawatirkan itu, Risky cukup selektif.

Ting! Tong!

Tak lama suara bel rumah berbunyi, Risky mengacungkan jari telunjuknya, "Dia sudah datang."

Bik Inah bergegas membuka pintu utama, dan senyum yang tadi terukir di bibirku memudar.

Dia--

"Perkenalkan nama saya Ridwan."

Selesai--

Addicted(Hombreng).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang