Di sore hari Senin yang cerah ini, Farah cukup lega karena tidak seperti biasanya, dia tidak terlibat dalam perdebatan apapun dengan Adrian sepanjang hari ini. Dan semoga saja sampai hari ini berakhir pun kejadian itu tidak akan Farah alami.
Langkah kaki Farah yang mantap dan ekspresi sedikit cerianya sukses menggambarkan suasana hatinya saat ini. Tenang, damai, sejahtera.
Tetapi ekspresi ceria yang ditunjukkannya hanya sedikit karena hari ini Farah harus menemui Pak Fajar terlebih dahulu di ruang guru untuk melakukan konsultasi berkaitan dengan olimpiade yang akan diikutinya tidak lama lagi.
Sebenarnya dari dulu Farah paling tidak suka dengan kegiatan sekolah seperti lomba atau olimpiade atau apapun. Bisa dibilang, sebelumnya—sebelum ada jurnal biru ajaib—Farah tidak aktif sama sekali dalam kegiatan apapun di sekolah. Bahkan Farah tidak memiliki satupun ekstra kurikuler.
Farah memang semager itu, awalnya.
Tapi sekarang Farah malah diminta untuk mengikuti olimpiade mewakili sekolahnya. Farah bisa saja langsung menolak permintaan Pak Fajar waktu itu, kalau saja, yang akan jadi penggantinya bukan Adrian. Karena Farah tahu, kalau bukan dia, pasti Adrian.
Farah bukan tidak ingin Adrian yang mengikuti olimpiade itu, tapi Farah pikir Adrian pasti akan berpikiran negatif lagi tentang Farah kalau-kalau Farah angkat tangan dari olimpiade itu. Mungkin saja Adrian akan mengatakan, 'Lo makin merasa lebih pinter dari gua, ya, sekarang? Seenaknya aja lo mundur dan bikin gua jadi pengganti lo! Harusnya lo yang pengganti, bukan gua. Dan bla bla bla—' Farah tidak ingin memikirkan kata-kata ala Adrian itu lagi. Muak.
Sesampainya di meja Pak Fajar, Farah segera menyalami tangan gurunya itu lalu mengambil tempat duduk di hadapannya setelah dipersilahkan. Farah balas tersenyum sopan saat Pak Fajar tersenyum kepadanya.
"Selamat sore, Pak. Maaf kalau saya mengganggu," ucap Farah basa-basi sebelum mengeluarkan lembaran-lembaran kertas dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja Pak Fajar. "Saya sudah coba kerjakan soal-soal yang Bapak berikan beberapa hari lalu, hasilnya ada beberapa nomor—kira-kira empat atau lima soal yang masih belum bisa saya pahami dengan betul."
Pak Fajar mengangguk-angguk lalu meraih lembaran-lembaran kertas di hadapannya yang sudah penuh dengan coretan tangan Farah. "Dari dua puluh lima soal ini, kalau yang kamu belum mengerti benar-benar hanya empat atau lima soal, itu bagus Farah. Karena anak-anak olimpiade dari tahun-tahun sebelum kamu, mereka hanya mengerti sedikitnya lima belas soal."
Farah hampir tersedak udara di sekelilingnya kalau saja dia tidak sadar sedang berada di mana dia sekarang. Masa sih, Farah sepintar itu? Rasanya sangat tidak mungkin.
"A-Adrian, Pak?" Mulut Farah refleks menanyakan itu. "Dia wakil tahun lalu, 'kan?"
Pak Fajar tersenyum mengerti melihat ekspresi Farah yang berubah horor. "Adrian lah yang mengerti lima belas soal. Sisanya malah lebih sedikit dari itu."
Kontan, Farah terdiam mendengar penuturan apa adanya dari Pak Fajar.
"Kalau begitu ini Bapak periksa dulu." Pak Fajar kembali bersuara lalu mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam laci mejanya. "Ini ada sepuluh contoh soal tambahan lagi. Coba kerjakan, ya, Far."
Farah mengangguk patuh sambil menerima kertas pemberian Pak Fajar. "Saya pamit sekarang, Pak."
Setelah mendapat persetujuan dari Pak Fajar, Farah segera melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Karena barusan Pak Fajar memberikannya tugas lagi dan kebetulan Farah sedang ingin minum kopi dan makan kue kesukaannya, Farah memutuskan untuk pergi ke Catch and Crack.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blue Journal
Teen FictionSeorang gadis bernama Farah Agita--siswa kelas 12 SMA Taruna Bangsa yang tiba-tiba jadi pintar itu--berhasil membuat kepala Adrian Gustomo jadi pening. Padahal tugas kenegaraannya sebagai Ketua OSIS paling digemari di sekolah sudah membuatnya kalang...