Pengakuan menyakitkan

1.6K 25 5
                                    

Manakah yang lebih penting dari persahabatan dan cinta? Hatiku yang mengalah, atau persahabatanku bermasalah.

~Salfa

Hari ini adalah hari pertemuan seluruh anggota pramuka di wilayahku. Berarti aku dan dia akan bertemu. Aku merasa begitu bahagia. Aku merapikan penampilanku, aku memakai celana gamlok coklat dipadu dengan baju pdl berwarna abu abu dengan sedikit garis hitam di bagian tangan. Aku memakai kerudung coklat, meching. Pikirku dalam hati. Aku merias wajahku dengan sedikit bedak dan memoles bibirku dengan lipbalm. Oke, perfect. Lalu aku pergi menuju Ruang rapat di kecamatan bersama Yogi temanku yang juga seorang anggota pramuka kecamatan.
"Rapi amat Fa, kayak mau ketemuan aja" sindirnya. Kulihat dia membetulkan posisi kaca spionnya.

"Kan ini juga mau ketemuan hehe" jawabku polos.

"Ciee yang mau ketemuan. Sama siapa emang? Sama gue?" jawabnya asal.

Aku mendecak. "Emang kita kan mau rapat, dan rapat itu sama dengan pertemuan. Gituu, geer banget lo ih"

"Haha iya juga sih. Ko lo pinter Fa?" dia meledekku sambil tersenyum jahil

"Siapa dulu dong, Salfa hahaha" jawabku membanggakan diri, "udah ah cepet. Entar kita telat persiapan. Malu dong" lanjutku dan Yogi langsung menggas motor matic nya.

Pertemuan sekarang diadakan di gedung pramuka di kecamatanku, biasanya rapat diadakan satu bulan sekali, dengan tempat yang berbeda seauai banyak kecamatan yang ada di wilayah 3.

Setelah sampai, aku dan Osen, Windy, serta Yusi membersihkan ruangan, sedangkan anggota yang lain membereskan kursi sesuai banyak peserta rapat hari ini. Aku ditunjuk sebagai pembawa acara pada rapat kali ini, disinilah aku, duduk di meja samping paling depan dan menghadap audiens. Semua peserta memasuki ruang rapat, tapi aku tak melihat sosok lelaki yang aku harapkan. Iya, siapa lagi kalo bukan Giana Febrian. Hatiku sedikit kecewa, dan aku kurang bersemangat. Namun, bagaimana lagi, aku dituntut untuk profesional dalam mengerjakan tugas. Jangan sampai urusan pribadi dibawa bawa pada oraganisasi.

"Assalamualaikum wr. Wb" aku mulai membuka rapat, seluruh mata fokus memandangku. Tanganku sedikit mendingin, aku akui aku sedikit gugup.

"Waalaikumussalam wr. Wb" jawaban seluruh peserta rapat dengan kompak.

Aku mulai membuka acara, dan setelah itu mempersilahkan pemateri untuk memberikan materi keprmukaan. Aku kembali duduk dan ku edarkan pandangan ke seluruh ruangan. Pandangan ku berhenti pada barisan ke dua sebelah kiri, lelaki itu. Apa aku tak salah lihat. Tubuhnya tegak, rambutnya hitam dan sedikit berantakan. Dia memandangku. Mataku dan matanya bertemu, cukup lama kami saling memandang tanpa beekedip.

"Bagaimana moderator?" lelaki bertubuh besar dan usianya 2 tahun lebih tua dariku membuatku memutuskan kontak mata dengan Giana. Aku mengangguk, mengiyakan tanpa tau apa yang aku iya kan itu. Wong dari tadi aku kurang menyimak. Aku tersenyum bahagia, tapi sambil menunduk agar tak dilihat orang lain. Sesekali dia memandangku, aku melihat dengar ekor mataku.

Waktu istirahat telah tiba. Lalu aku persilahkan seluruh peserta untuk melaksanakan solat.

Semua peserta telah keluar ruangan, aku membereskan alat tulisku.

"Salfaa. Hai. Gimana kabarnya... Kangen deh" wanita bertubuh sedikit berisi itu menghampiri ku. Aku menyambutnya. Dia memelukku dan aku membalas pelukan wanita bermata sipit itu.

"Eh ka Tipah, alhamdulillah baik ka. Gimana dengan kaka? Baik juga kan? Hehe Salfa juga kangen" aku menggunakan embel embel "Ka. Karena Latifah sudah ku anggap seperti kakakku.

Kami melepaskan pelukan dan duduk bersebelahan.
" oh ya, sebenarnya aku mau curhat" katanya, Latifah menunduk.

"Oh ya? Yo udah kangen nih pengen denger curhat Kaka" aku menjawab riang

"Aku suka banget sama Giana. Sebenarnya kita udah deket waktu Raimuna dulu" tuturnya.

Deggg.. Hatiku terasa begitu perih mendengar kan penuturan Latifah. Ada rasa sakit yang menyeruak di dada. "Ohh.." jawabku.

"Tapi, semenjak dia kenal dengan kamu, dia berubah. Dia ga kayak dulu lagi. Dia jadi cuek ke Aku" lanjut Latifah.

Hatiku terasa ditusuk duri. Ada rasa bersalah di hati ini. Ada penyesalan dan kekecewaan bercampur menjadi satu. "Maafin Salfa ka, Salfa ga bermaksud buat deketin Giana. Salfa dan Giana cuma temen biasa" aku menjawab pelan dan meyakinkan.

"Syukurlah. Aku minta, kamu jangan deketin dia lagi ya. Dan tolong, kamu jangan bilang apa- apa tentang ini sama Giana. Aku mohon.." Latifah memegang tanganku.

Tegg, sekali lagi hatiku terasa begitu sakit bak dicincang pisau. Mana mungkin aku bisa menjauhinya. Kini egoku muncul. Tapi rasa bersalah di hatiku mengalahkan gejolak egoku. "Iya ka. Salfa ga akan ngontek Giana lagi" aku tersenyum menyembunyikan pilu di hati, fake smile.

"Tapi, darimana ka Tipah tau, aku dan Giana deket?" tanyaku

"Dari sorot mata kalian. Kalian ga bisa nyembunyiin rasa kalian" jawabnya. "Aku mohon, jauhin Giana" katanya padaku.

"Iya ka" ucapku bersebrangan dengan hatiku. Mataku memanas dan aku segera permisi untuk ke toilet.

Aku udah gede, kenapa aku masih aja cengeng? Kuat Sal, kuat.. Pikirku, butiran hangat keluar dari ke dua sudit mataku. Aku akui sungguh menyakitkan harus melepaskan bahkan menjauhi orang yang selalu menghiasi hari hariku. Dia adalah lelaki yang datang tepat saat aku begitu terpuruk karena ditinggalkan mantan pacarku. Di putus kan tanpa alasan. Hari hari ku akan terasa hampa tanpa dirinya.

---

Gak PekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang