21

953 111 31
                                    

Musik yang dinyanyikan band jalanan begitu menyita perhatian Wonwoo. Ia menghentikan langkahnya hanya untuk sekedar melihat permainan pria dengar gitar listriknya di tengah-tengah dinginnya udara malam.

Di depannya, Mingyu terpaksa membalikkan tubuhnya ketika menyadari jika sedari tadi ia sibuk berbicara sendiri. Keningnya mengerut sebal melihat Wonwoo yang telah berada di antara kerumunan orang-orang yang menonton pertunjukan kecil itu. Masih dengan tangan kurusnya yang menggenggam kaleng kopi pemberian Mingyu.

"Hyung!" Teriak Mingyu yang tak digubris oleh Wonwoo. "Ahh- aku bisa bermain lebih baik dari mereka." Ucapnya ber-ego. Ekspresi takjub Wonwoo untuk pemain musik yang diakui Mingyu cukup tampan itu membuatnya panas. Namun jumawanya hanya dibalas putaran malas pada bola mata Wonwoo. Pemuda yang tak kalah tampan dari Mingyu itu kembali berjalan. Menjauhi kerumunan dan mendahului Mingyu yang berdecak tak suka.

"Kenapa kau selalu kesana dan kemari sih?" Tanya Mingyu sembari berlari kecil menyusul Wonwoo yang telah berada beberapa meter di depannya.

"Seketika aku rindu Soo-ie. Aku tak pernah yakin dengan keputusannya untuk menerima Seungcheol."

Mingyu membeku. "Apa?"

Wonwoo ikut menghentikan langkahnya. Ia berbalik, hendak melontarkan sindiran jika saja ia tak melihat wajah sendu dari pemuda berkulit tan itu. "Apa?" Wonwoo tak tahu harus menjawab apa. Karena sungguh, ia tak mengerti dengan reaksi Mingyu.

"Kau meragukan Seungcheol?"

Ragu, Wonwoo mengangguk. Mingyu memilih mengulas senyum tipis, sebelum berjalan mendekati Wonwoo yang terdiam kikuk di tempatnya. "Lupakan, itu bukan urusan kita."

Bukan? Sebenarnya Wonwoo ingin bertanya lebih, namun lengan besar Mingyu yang merangkulnya membuat ia urung untuk bertanya. Memilih mengikuti langkah besa Mingyu yang membuatnya sedikit terseok.

.

Keesokan hari setelah pergulatan panas dengan Jisoo, Seungcheol merapatkan mantel hitamnya sambil berjalan penuh keangkuhan menuju sebuah apartemen bawah tanah di sebuah apartemen tua. Tempat tinggal Wonho.

Tangannya yang tertutup sarung tangan kulit memutar kenop pintu sebelum akhirnya obsidian itu menangkap ruangan bernuansa temaram. Sosok Wonho sudah dapat terlihat di salah satu sudut ruangan dengan 3 layar besar di hadapannya. Kakinya terangkat dan tangannya menggenggam sebungkus keripik kentang madu yang tengah tren akhir-akhir ini.

Seungcheol melangkah dengan hati-hati. Berjengit jijik melihat banyaknya sampah di ruangan itu. Menahan nafas ketika maniknya menangkap sebuah potongan pizza berjamur di atas sofa, juga tumpahan cola dan soju di lantai hingga banyak semut dan kecoa yang berkeliaran. "Astaga! Kau masih saja sama!"

Wonho terkekeh. Ia tahu jika Seungcheol yang tadinya datang dengan tanpa suara ke apartemen bawah tanahnya. "Jangan sombong begitu. Aku belum mempunyai kekasih hingga tak ada yang mengurusku."

Sebenarnya Seungcheol ingin membantah. Karena sungguh ia tak pernah sejorok ini bahkan sebelum menjalin hubungan dengan siapapun. Melihat buku yang berpindah tempat saja mampu membuat Seungcheol tak nyaman. Oh- dia baru sadar jika dirinya mungkin terjangkit OCD.

"bangun lah pemalas! Kita bicarakan di luar."

"Wae? Aku tak suka sinar matahari!" Wonho protes. Ia benar-benar tak suka dengan matahari yang bersinar terik menyayat tubuhnya. Seungcheol menggeleng, ia menarik tubuh Wonho menuju ruang tamu sebelum melemparkan sepotong mantel dan celana ripped jeans , pada pemuda kekar itu.

"Ah sial!"

Sungguh Wonho tak bisa menolak perintah seorang Choi Seungcheol. Hingga di sinilah ia berada. Kedai kopi yang diketahui Wonho sebagai milik salah satu teman baik Seungcheol. "Biarkan aku pesan Piccolo!"

Snow Song [Cheolsoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang