24

1.3K 133 32
                                    

Myungho mematung di tempatnya. Ia baru saja membeli sebotol air mineral untuk Wonwoo yang sudah sadar dari pingsannya, namun mata sipit Myungho malah membola melihat pemandangan menyedihkan di hadapannya.

Disana, di sisi koridor yang mulai temaram karena matahari yang sudah menenggelamkan separuh tubuhnya, terlihat sosok Hong Jisoo, sang sahabat yang tengah meringkuk sambil memeluk gitarnya yang diyakini Myungho telah tak berbentuk lagi. Setelah tersadar dari keterkejutannya, Myungho berlari secepat kilat ke arah Jisoo. Mencoba mengangkat tubuh Jisoo yang dingin. "Soo-ie." lirihnya. Ia mengumpat pada dirinya sendiri yang tak mampu mengejar Jisoo setelah insiden memuakkan tadi sore.

Jisoo tak bergeming, namun netra nya yang redup melihat ke arah Myungho dengan senyum manis yang diherankan Myungho mengapa tak pernah pudar. Oh- pemuda Cina itu meringis, kala melihat wajah manis Jisoo yang penuh lebam. "ayo ke ruang kesehatan. Bertanggung jawab lah pada Wonwoo yang harus tak sadarkan diri karena dirimu." Myungho sedikit menyudutkan Jisoo, ia tahu betapa keras kepalanya Hong Jisoo tetang kepedulian seseorang padanya.

Benar saja. Seketika Jisoo menatap kalut pada Myungho, pemuda itu mengkhawatirkan sang sahabat rupanya. Myungho tersenyum kecil. "Tak perlu khawatir, Wonwoo sudah siuman." balasnya seakan menangkap maksud Jisoo. Tangan yang sama kurusnya dengan Jisoo itu sekuat tenaga memapah sang sahabat untuk pergi ke ruang kesehatan. Saat itu lah, Jisoo tak sadarkan diri dalam pelukan Myungho.

Orang mana pun yang begitu panik, pasti sama seperti Myungho. Ia langsung menggendong Jisoo di balik punggung sempitnya, hingga ia melupakan satu hal penting dalam hidup Jisoo.

Brugh

Gitar biru yang telah tak berbentuk itu seketika jatuh dari genggaman tangan Jisoo yang terkulai lemah. Myungho hanya menatapnya sesaat sebelum berlari mengingat kondisi Jisoo yang memprihatinkan.

.

Langit malam telah menyelimuti angkasa, dan Seungcheol masih terduduk lemas di tangga aula. Festival kesenian sudah lama berakhir. Maksudku, terpaksa berakhir lebih awal. Hanya ada panitia-panitia yang sibuk membereskan dekoran mereka.

Obsidiannya menengadah, merasakan dinginnya salju yang siapa tahu dapat memperbaiki sel otaknya.

"Yya, Choi."

Suara husky di belakangnya cukup menginterupsi Seungcheol. Ia memutar tubuhnya demi melihat sosok Taehyung yang tak menatapnya. Hanya berdiri dengan tangan kiri di kantung celananya dan tangan kanan menggenggam satu kaleng kopi hangat.

"Setidaknya bawakan aku sekaleng juga sebelum kemari."

Taehyung terkekeh sinis. "Untuk apa? Bahkan kopi tak mampu membuatmu merenung akan dosamu untuk semalaman."

Hening. Seungcheol bahkan tak berniat membalas sindiran Taehyung. Sudah berapa kali dalam satu hari ini yang membuat dadanya terasa sesak. Jeonghan yang meninggalkannya, Jisoo yang menderita, juga kabar drop out pemuda manis itu. Sungguh, Seungcheol tak menyangka aksinya bisa berakibat sejauh itu. Dia hanya-

Hanya..

Entah. Dia bahkan tak bisa memikirkan alasan untuk membenarkan perbuatannya.

"Hong Jisoo sudah pulang." ujar Taehyung sembari duduk di samping seungcheol. Kembali meneguk kopi nya lagi.

"Lalu?"

"Ku dengar dia ingin mengambil kelas musim semi di luar negeri. Aku tidak tahu kelas apa itu dan negara apa tepatnya."

"Lalu?"

"3 hari lagi dia berangkat. Untuk 2 bulan ke depan."

Seungcheol menelengkan kepalanya dengan malas. "Laaalu?"

Snow Song [Cheolsoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang