19

898 120 30
                                    

Suara derap langkah yang terburu-buru begitu menggema di lorong rumah sakit. Tangannya mencengkram erat ponselnya, sedangkan nafas mulai memburu di balik tubuhnya yang kelelahan setelah berlari dari lift kembali ke salah satu bangsal VIP.

Jisoo terengah. Seokmin baru saja menghubunginya untuk segera kembali pulang. Tidak. Bahkan kakaknya itu menyuruhnya untuk berubah haluan pergi ke kantor pusat perusahaan Hong. Sialnya mereka, karena para tetua perusaahan mendadak menghubungi Seokmin untuk segera melantik Jisoo untuk menggantikan Seokmin. Menggantikannya untuk menjabat menjadi orang nomer satu di perusahaan makanan kemasan itu.

Ia baru saja tiba di depan pintu kayu bangsal Jeonghan untuk mengambil gitarnya sekaligus pamit pada kedua orang di dalamnya, namun takdir kembali menyakitinya.

Kenapa dirinya harus mendengar percakapan yang ada di dalam? Jisoo bahkan harus mengumpat pada ruangan itu yang mampu menguras tabungan namun tidak begitu kedap suara.

Apa ia harus menyalahkan Seungcheol karena ini adalah rumah sakitnya? Ataukah ia harus menyalahkan dirinya sendiri yang terpaksa datang?

Heol. Jisoo memutar otak di sela rasa sesak di dadanya. Mencoba menangkap maksud yang dibicarakan Seungcheol dengan Jeonghan. Semuanya terasa kabur, namun pernyataan tentang mereka yang tak sabar akan datangnya musim semi membuat perutnya bergejolak tidak nyaman. Apa Seungcheol berencana untuk meninggalkannya? Tidak. Tidak. Jisoo memang hendak belajar jauh di negeri orang nanti, tapi ia ingin agar Seungcheol tetap berada disisinya. Bukan berarti harus berpisah.

Persetan dengan perpisahan. Kali ini biarkan Jisoo menikmati momen nya dengan Seungcheol. Toh, tidak ada yang bisa membantah karena status mereka sekarang yang merupakan sepasang kekasih.

Jisoo mendengus dengan tarikan kecil di salah satu sudut bibirnya.

Kekasih.

Apa dirinya dan Seungcheol bisa disebut sebagai kekasih?

Jisoo mengusak wajahnya kasar. Wajah manis itu sedikit memerah karena menahan tangis. Ia memutuskan untuk masuk, kala musik Seungcheol hampir berakhir.

Pintu kayu itu terbuka. Memperlihatkan Jeonghan dan Seunhcheol yang langsung menatapnya kaget. Namun kemudian, Jeonghan tersenyum lembut padanya. Saat itu lah, hati Jisoo berdesir. Ia ingat jika Jeonghan masih mencintai Seungcheol, begitu juga sebaliknya. Oh- dadanya berdenyut sakit. Apakah dirinya merusak kebahagiaan mereka? Kebahagiaan dua orang yang begitu disayangi Jisoo.

"Soo-ie." Panggil Jeonghan. Pemuda cantik itu merasa perutnya membuncah, melihat sahabat terbaiknya datang untuk pertama kali. Jisoo membalas panggilan itu dengan senyum pilu, dan Jeonghan menyadari itu.

"Kau sudah makan? Kenapa cepat sekali?" Jisoo terdiam. Ia tidak menjawab pertanyaan Jeonghan, namun matanya melirik ragu ke arah Seungcheol. Pemuda itu tidak menatapnya sama sekali. Bahkan, gitar Jisoo telah diturunkan dari pangkuannya. Pandangannya tak lepas dari wajah cantik Jeonghan.

"Soo-ie?"

Lagi-lagi Jisoo tidak menghiraukan Jeonghan, membuat pemuda bersurai panjang itu menghela nafas pelan. Manik hazel Jisoo hanya menatap Seungcheol. Terdiam tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.

"Ah- kau ingin dengar musik Seungcheol? Dia baru selesai mengaransemennya." Pekik Jeonghan. Sungguh, dia tidak tahan dengan kecanggungan di antara mereka ini.

Sukses. Tawaran Jeonghan terdengar begitu menggiurkan di telinga Jisoo, membuatnya menoleh pada Jeonghan sebelum mengangguk dan tersenyum kecil. Awalnya Seungcheol tampak sedikit tidak terima, tapi Jeonghan mendesis tak suka.

"Baiklah."

Jisoo menunduk. Ia tahu Seungcheol tidak ingin memperdengarkan lagunya pada Jisoo. Tapi keegoisannya menahan Jisoo untuk tidak menolak, sisi buruknya sangat ingin mendengar musik Seungcheol. Tidak peduli akan perasaan Seungcheol.

Snow Song [Cheolsoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang