25 - Time Passes By

1.3K 130 37
                                    

Kopi wijen hitam begitu menarik untuk dinikmati akhir-akhir ini. Meskipun sinar matahari semakin menyengat mengingat musim panas yang sebentar lagi tiba. Jun masih sibuk dengan pelanggannya di meja pesanan, namun matanya berkali-kali melirik sesosok pemuda yang terduduk di meja yang sebenarnya diperuntukkan untuk 4 orang itu. Jun menghela nafas lega setiap kali menemukan sang sahabat yang masih terdiam di tempatnya. Takut-takut melakukan hal tak waras setelah kejadian beberapa minggu lalu.

"Dimana Seungcheol?" Jun melirik Seokmin yang baru saja tiba, bahkan denting lonceng di pintu masuk tidak terdengar sangking seriusnya Jun bekerja selagi memperhatikan Seungcheol. Dagunya bergedik, menunjukkan arah pada Seokmin.

"Bagaimana Hannie?" Tanya Jun setelah pelanggan terakhirnya selesai memesan. Seokmin tersenyum penuh jumawa. "kandungannya sehat. Aku bahkan tidak tahu jika ibu hamil bisa mengidam pada bulan pertama." Jun terkekeh mendengar balasan Seokmin. Tak lama, tawa renyah keduanya sirna, terganti dengan ekspresi tak tertebak.

"Kau ingin menemuinya?" Seokmin mengangguk mantap. "Ini sudah 4 bulan."

.

Jemari besar Seungcheol menekan tombol pendingin ruangan di dalam kamarnya. Melepas jaket seraya mendudukkan tubuh berototnya di atas meja kerja.

Ia menunduk cukup lama sebelum menengadah, menatap langit-langit kamar yang bercat kelabu. Lalu mengusak wajahnya kasar, membiarkan obsidian itu melirik kertas-kertas musik nya yang berserakan hingga ke lantai. Matanya terpejam, pikirannya teringat telefon yang tiba hampir 4 bulan yang lalu.

Dari Kwon Ji Yong. Seungcheol tahu betul siapa dia, produser sekaligus tangan kanan dari pemilik salah satu agensi besar di Korea Selatan. Awalnya, Seungcheol bahkan tak berkedip mendengar rangkaian kalimat yang dituturkan Jiyong padanya. Hingga serangkaian kalimat yang sukses membuat dadanya berdenyut sakit.

Seungcheol meneguk salivanya sekuat tenaga. "Tapi- aku tidak merasa mengirimkan rekaman laguku kesana."

Sejenak ada keheningan di balik telefon, namum kemudian hembusan nafas berat Jiyong terdengar bergemerisik. "Kau mengenal Lee Seokmin?"

Tubuh Seungcheol menegang. "Y-ya." Jujur, ia ragu untuk menjawabnya.

"Dia yang mengirimkan file karyamu, tuan Choi."

Seungcheol melemaskan punggungnya. Ia mendesah kasar seraya kembali memikirkan perkataan produser ternama itu. Lee Seokmin? Heol. Tentu dia tahu ini semua ulah Jisoo.

Sungguh, Seungcheol mengapresiasinya karena dia sendiri pun tak mampu berbohong jika ada sesuatu yang membuncah ketika mendengar kabar tersebut. Musiknya di terima. Hal apa lagi yang lebih membahagiakan selain itu?

Dan sekarang, sudah hampir 4 bulan lamanya ia bekerja untuk Jiyoung, menulis lagu-lagu bergenre Pop dan Ballad untuk artis binaan agensi besar itu. Atau bahkan terkadang Folk. Sekali lagi, semua berkat Jisoo.

Hong Jisoo.

Nama itu sungguh tak kunjung hilang dari pikiran Seungcheol. Hampir setiap jam hidup pemuda tampan itu penuh umpatan-umpatan pada bayangan sosok Jisoo yang menghantuinya.

Seungcheol meremas surai yang kali ini telah berubah berwarna cokelat keemasan, senada dengan manik bening seseorang yang pernah terkasih. Seungcheol terkekeh. Jangan bergurau, dirinya sendiri bahkan tak yakin pernah mengasihi Jisoo dengan tulus.

Empat bulan lalu memang Seungcheol tak berkutik, membiarkan Jisoo lepas dari jangkauannya begitu saja. Merasa kehilangan? Seungcheol tak munafik. Tentu dirinya merasa kehilangan. Disaat Jeonghan tak lagi bersamanya, Seungcheol sudah di ambang kehancuran. Di tambah dengan kepergian Jisoo, Seungcheol benar-benar hancur karena rasa bersalah.

Snow Song [Cheolsoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang