PERGI #2

1.1K 137 67
                                    

Sudah dua hari, Maura dikurung di dalam kamarnya oleh sang papa. Sudah dua hari juga, ia tak mengetahui kabar Rio dengan jelas. Yang ia tau selama ini, Rio sedang kritis dan belum siuman.

Mama Maura, Kirana sudah membujuk suaminya untuk membebaskan anaknya dari kamar. Bahkan mereka sempat bertengkar, Kirana sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya yang mengekang sang anak.

Kirana juga perempuan, pasti ia juga merasakan yang anaknya rasakan. Tak direstui hubungan oleh orangtua itu sangat menyakitkan, apalagi kita saling mencintai.

"Papa benar - benar kelewatan!" Teriak Kirana kepada suaminya, Farhan.

Lalu Kirana meninggalkan sang suami menuju kamar Maura dengan membawakan sarapan pagi. Kebetulan hari ini Maura ada jadwal untuk kuliah, jadilah Kirana harus membebaskan anaknya dengan paksa dari kamar.

Tok tok tok.

Kirana membuka pintu kamar Maura dengan pelan, dibalik pintu ia dapat melihat anaknya yang terlihat murung dan seperti orang depresi. Hatinya tergores, seorang ibu melihat anaknya dalam keadaan seperti itu pasti akan sedih juga kan?

Ia menghampiri Maura dan membelai rambut cokelatnya itu. Maura menoleh ke arah Kirana dan tersenyum getir.

"Makan dulu ya nak, kamu mau berangkat kuliah kan?" Tanya Kirana.

Maura hanya mengangguk, Kirana tau situasi saat ini anaknya tak bisa makan sendiri akhirnya ia menyuapi sesuap demi sesuap.

"Kamu udah mandi sayang?" Tanya Kirana.

Maura menggeleng.

"Ya udah sekarang mandi ya, abis itu kamu berangkat kuliah. Jangan telat." Kata Kirana lembut.

Maura mengangguk kemudian ia bergegas untuk mandi dan bersiap - siap untuk berangkat kuliah.

Kirana yang sudah selesai menyuapi Maura, lalu ia keluar dari kamar anaknya dan melakukan aktivitasnya.
Sebenarnya Maura tak berniat untuk kuliah, dirinya benar - benar kacau, pikirannya melayang memikirkan Rio. Ia punya rencana lain.

Dirinya berniat untuk kabur dari rumah sejauh mungkin dari Jakarta. Ia ingin menenangkan diri dari masalah ini, ia berharap dengan kejadian ini Papanya dapat berubah.

Ia menyiapkan baju - baju dan perlengkapan lainnya ke dalam koper. Setelah beres, koper tersebut ia taruh diluar jendela dan ia akan berpura - pura pergi ke kampus.

Tak lupa ia menuliskan surat untuk orangtuanya, agar tak membuat orangtuanya khawatir.

"Ma, aku berangkat dulu ya." Pamit Maura.

"Iya sayang, hati - hati." Pesan Kirana.

Maura bergegas mengambil koper yang ada di luar jendela kamarnya dan dengan perasaan was - was takut ketahuan ingin kabur oleh orangtuanya.

Ia menyetopkan taksi, sebelumnya ia ingin bertemu dengan Rio di rumah sakit.

Drrtt. Drrtt

Ponsel Maura berdering menandakan ada telepon masuk.

"Halo Raina kenapa? Oh iya Rio udah sium---" Ucapan Maura terputus.

"......."

"Rio meninggal?"

Ponsel Maura terjatuh seiring air matanya. Hatinya hancur berkeping - keping mendengar berita bahwa Rio sudah meninggal.

Supir taksi yang bingung dengan penumpangnya, ia meminggirkan taksi untuk menenangkan Maura.

"Neng, kenapa nangis neng?" Tanya Pak supir bingung.

"Pacar saya meninggal, pak." Jawab Maura lemas.

Pak supir kaget dan turut prihatin atas kejadian ini. Ia menenangkan Maura dan memberi nasehat agar jangan terlalu larut dalam kesedihan.

"Antar saya ke makam, pak." Kata Maura.

***

Lagi, lagi dan lagi. Air mata Maura menetes sudah terlalu banyak atas kepergian Rio. Dirinya kini benar - benar rapuh, tak ada lagi kebersamaan dengan Rio, tak ada lagi candaan dengannya, separuh jiwanya telah pergi.

Raina juga ikut bersedih selain Rio juga adalah temannya, Maura kini terlihat sangat hancur. Ia tak bisa membayangkan jika dirinya ada diposisi Maura, pasti tak akan kuat.

Raina memeluk sahabatnya itu, membiarkan Maura menangis dipelukannya. Ia mengelus punggung Maura seolah menyalurkan kekuatan untuk bersabar dan mengikhlaskan.

"Maura, jangan nangis terus. Kasian Rio disana pasti juga ikut sedih, lo harus ikhlaskan dia, Ra." Pesan Raina.

Maura mengangguk, benar yang dikatakan sahabatnya itu. Akhirnya ia mengelap airmatanya yang menempel diwajahnya.

"Raina, makasi udah jadi sahabat gue. Gue mau pamit dulu, jangan bilang siapa - siapa kalo gue mau ke luar kota." Kata Maura pelan.

Raina melotot kaget, mengapa sahabatnya itu ingin pergi ke luar kota? Apakah ada urusan lain? Atau apakah ia ingin kabur?

Raina sedikit takut dengan yang akan dilakukan oleh Maura, ia berharap semoga sahabatnya itu bisa menjaga dirinya.

"Rio, aku pergi dulu ya. Meskipun kamu udah di alam sana, aku tetap sayang kamu. Di hati aku tetap kamu, walau nanti aku menemukan pengganti kamu." Ucapnya pelan sambil memeluk batu nisan milik Rio.

Air matanya menetes kembali namun tak sebanyak tadi. Ia berusaha kuat untuk menjalani takdir yang telah tertulis untuk dirinya. Ia tau, Tuhan pasti tak akan membebani umatnya melebihi dari kesanggupannya.

Maura akan mencoba mengikhlaskan untuk merelakan kepergian Rio untuk selamanya. Tugasnya sebagai sang kekasih kini telah usai.

Ia tersenyum getir, "Ternyata hubungan kita cuma sampai disini. Aku padahal udah bermimpi masa depan sama kamu." Katanya pelan.

Hati Raina mencelos, ia sedari tadi tetap disamping sahabatnya itu walau semua orang sudah pergi meninggalkan makam. Sebagai sahabat, kita harus saling menjaga dan menguatkan bukan?

Kini Maura dan Raina berdiri, beranjak ingin pergi. Namun sebelumnya Raina memeluk erat sahabatnya itu, seolah tak mau pisah dan tak ingin jauh darinya.

"Jaga diri lo baik - baik, Ra. Disana gue gak ada, gak bisa nemenin dan jagain elo. Pokoknya kalo ada apa - apa lo harus telepon gue." Pesan Raina kepada Maura.

Maura mengangguk dan tersenyum, ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Raina. Dia orang yang selalu ada selain Rio, lagi - lagi ia tersenyum getir.

Maura kembali ke dalam taksi yang ia naiki tadi. Pak supir yang melihat keadaan penumpangnya yang kini tak terlihat begitu sedih, ia tersenyum. Setidaknya Maura sudah sedikit lebih baik.

"Ke bandara, pak." Ucap Maura kepada pak supir.

"Siap, non!" Jawab pak supir.

Di sepanjang jalan Maura masih memikirkan Rio, sejujurnya ia berat meninggalkan orangtuanya. Namun ia juga ingin melupakan semua kejadian yang membuat dirinya menjadi frustasi itu dengan sementara mengasingkan diri ke luar kota.

Semoga saja Mama dan Papanya memahami keadaannya sekarang. Itu harapannya.

MauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang