Suara hantaman, pukulan dan makian menggema di dalam rumah kosong yang berlokasi di belakang Bintang Harapan. Biasanya, anak-anak Bintang Harapan menyebutnya Lubang Buaya. Karena, rumah sederhana yang terlihat angker tersebut adalah tempat penindasan atau pembullyan yang di lakukan siswa Bintang Harapan. Tanpa sepengetahuan pihak sekolah, tentunya.
Untuk yang ke sekian kalinya, cowok berambut cepak itu terbatuk. Yang menyebabkan darah segar keluar dari mulutnya.
Dan dengan tenaga yang masih tersisa-- juga pandangan yang sedikit memburam, dia mencoba menatap pelaku yang berteriak lantang ke arahnya. Sedangkan, dua temannya yang lain berusaha menyadarkan pelaku tersebut dari luar area.
"Gue tanya sekali lagi, maksud lo apa ngehina-hina cewek gue segala?"
Cowok yang tengah tersungkur itu nggak menjawab. Di karenakan sudut bibirnya terlalu nyeri untuk sekedar di gerakkan.
Bara berdecak, lalu mengusap keringat yang mengucur di dahinya.
"Inget, gue udah lama ngincer buat ngehabisin lo dan sengaja ngebiarin lo berkoar di belakang gue ... Karena gue tau lo itu sebenarnya bukan tandingan gue,"
Korbannya memandang plafon rumah itu yang berbahan dasar kayu. Rapuh, sama seperti kondisinya sekarang.
"Bangsat."
Dia melirik Bara, pelaku yang menyebabkan kondisinya hancur. Well, sebenarnya bukan Bara yang sepenuhnya salah. Ini juga salah dirinya. Sudah mencari masalah duluan ke hulubalang Bintang Harapan.
Pun matanya ia coba untuk menatap Bara yang berdiri di sampingnya. Sekarang dia setuju dengan ucapan Bara, bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan Bara. Itu bisa di buktikan dari fisik mereka yang cukup berbeda.
Bara jelas-jelas lebih jangkung dan lebih berisi darinya.
"Jangan pikir kalo gue diem itu artinya gue ngebiarin lo berkoar."
Bara membuka ponsel yang ia letakkan di atas kursi tua, lantas salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas. Membentuk senyuman miring tatkala melihat lockscreen yang berlatar fotonya berdua dengan Lea.
Bara berdehem sebentar sebelum melanjutkan ucapannya, "Gue diem karena pengin ngeliat sejauh mana lo ngeocehin gue sama Lea. Tapi gue liat-liat, kenapa ya, makin lama lo makin jadi?"
"Bar--"
"Jawab, bangsat!"
Buggh!!
Braakk!!
Bara memakinya seraya menendang tubuh Adhan, seseorang yang sudah berani-beraninya menghina dirinya dan Lea. Karena Bara pernah mendengar dari telinganya sendiri, kalau lelaki berambut cepak tersebut mengatakan yang bukan-bukan ke anak lain.
Adhan bilang, Bara memacari Lea sebagai pemuas nafsunya saja sedangkan segepok uang lah yang menjadi bayaran Lea untuk itu.
Bukan itu saja, Lea juga sering mengeluh tentang perilaku teman-teman Adhan kepadanya. Karena Lea bilang bahwa dia sering kali di colek atau di goda oleh mereka.
Dan fakta itu membuat Bara semakin panas. Sungguh, kalau saja membunuh adalah hal yang wajar, maka Bara akan membunuh mereka sekaligus dengan cara memotong kepalanya.
Bara tersenyum miring, menatap Adhan yang sedari tadi tersungkur di depan matanya.
Cih, yang benar saja! Bahkan dia pun belum pernah bercium--cukup!
Tanpa sadar Bara menggeleng, membuat dua temannya yang barusan mendobrak pintu Lubang Buaya, terheran.
"Lo geleng-geleng kenapa? Lagi enak lo?" tanya Jordy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Match Made in Heaven[SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[SEBAGIAN PART SUDAH DI HAPUS] [TERSEDIA VERSI CETAK & EBOOK] Bara, namanya. Lelaki berdarah Arab yang mungkin setelah kamu membacanya, Kamu akan jatuh cinta padanya. WARNING: MENGANDUNG KATA-KATA KASAR! (13+)