14. Undangan

1.8K 127 11
                                    

Memikirkan Bram mungkin sudah jarang Keysa lakukan. Merindukan pria itu mungkin iya. Tapi berharap kepulangannya ke Indonesia sudah Keysa hilangkan sejak lama. Sebesar apapun rasa rindunya, Keysa berusaha menahan keinginannya untuk bertemu.

Dua tahun terasa begitu lama bagi Keysa. Dan mengharapkan kemunculan pria itu di depannya adalah hal yang paling mustahil menurutnya. Tetapi Keysa tidak bisa memungkiri bahwa mendadak dia kesulitan bahkan untuk bergerak saja ketika saat ini Bram muncul di muka pintu rumahnya dengan senyum paling menawan yang sangat Keysa rindukan. Keysa masih mematung di tempatnya. Menatap Bram antara kaget dan haru.

Keysa tidak menyangka bahwa Bram akan pulang secepat ini. Katanya dua tahun lagi, kan?

Keysa baru pulih dari keterkejutannya ketika Bram menariknya ke dalam pelukan pria itu.

"Ini..." bibir Keysa bergetar menahan tangis ketika mengucapkan hal itu.

"Iya. Ini aku." ucap Bram di atas kepalanya. Keysa bisa merasakan usapan lembut di puncak kepalanya.

"Kenapa gak bilang kalau mau datang?"

Keysa menarik dirinya, menatap Bram cukup lama lalu tertawa. "Aku gak percaya bisa liat kamu di sini."

"Intinya kan aku udah di sini." kekeh Bram seraya menyelipkan anak rambut Keysa ke telinganya. Perlakuan sederhana Bram ini kembali mengingatkan Keysa pada kebersamaan mereka dua tahun yang lalu. Otomatis pipinya memerah ketika membayangkannya lagi.

"Masuk, yuk." ajak Keysa. Bram sudah sering bertandang ke rumah mungil ini. Tidak heran jika dia tidak segan untuk langsung duduk di dipan bambu di samping meja dekat jendela. Keysa sudah ke dapur, menyiapkan minuman untuk Bram. Tepat saat itu pintu dapur terbuka dan Nenek muncul dari sana.

"Loh, Nak Bram ya?" sapa Nenek seraya mendekati Bram. Bram lantas berdiri, menyalim tangan Nenek lalu duduk kembali. Keduanya asyik berbincang-bincang sementara Keysa menyiapkan minuman.

"Nenek dengar kamu pulangnya dua tahun lagi. Bukannya Nenek gak suka kamu datang, cuma Nenek heran aja kenapa bisa secepat ini."

Keysa muncul di pintu dengan nampan di tangannya. Ada dua gelas teh di sana. Setelah mempersilakan Bram untuk minum, Keysa duduk di samping Nenek.

Bram sudah berubah. Tidak seperti pria yang tersenyum manis padanya sewaktu dia mengantarkan ke bandara tempo hari. Bramnya sudah benar-benar berubah. Lebih dewasa dan tentunya lebih tampan. Aura mahasiswa sudah terlihat jelas di wajahnya. Keysa sendiri sempat pangling ketika melihatnya tadi.

"Oh itu," Bram tersenyum. Menarik secangkir teh lalu menyesapnya sedikit. Senyum di wajah Bram tidak berubah sehingga Keysa yakin bahwa teh buatannya enak. "Saya dapat cuti dua minggu. Jadi memilih pulang ke sini. Lagipula sudah lama gak ngeliat Keysa."

Keysa menunduk, menyembunyikan senyumnya agar tidak bisa dilihat oleh Bram. Padahal Bram sudah tertawa dalam hati melihat tingkah konyolnya. Kalau saja tidak ada Nenek mungkin cowok itu sudah menjulurkan tangannya hanya untuk sekedar mencubit pipi Keysa yang memerah.

Ah, sudah lama sekali Bram tidak melihat pipi itu memerah karena ulahnya.

Setelah berbasa-basi dengan Nenek sebentar, Bram mengajak Keysa berjalan-jalan.

"Taman ini masih bersih juga, ya." komentar Bram ketika mereka melewati taman kecil di dekat lapangan bola kaki. Taman itu, dulu, adalah tempat di mana Keysa sering menunggu Bram. Menunggu pria itu menjemputnya atau sekedar untuk bertemu.

"Iyalah," Keysa ikut mengedarkan pandangannya. Tatapannya jatuh pada sebuah ayunan yang tergantung di pohon mangga. Tali ayunan itu sudah rusak dan dudukannya juga sudah lapuk. "Ayunan itu gak bisa bikin aku lupa. Tiap kali liat ayunan itu, pasti ingatnya kamu."

Beloved Hero (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang