2: TENTANG MOVE ON

5.1K 82 24
                                    

Leila menatap semua makanan yang dipesannya tadi telah tandas masuk ke dalam perut kecilnya, hanya menyisakan segelas milk tea-nya saja di atas meja. "Ngelupain orang yang kita sayang itu, susah banget ya, Kak?" ucapnya tiba-tiba, yang membuat Atha menaruh garpunya di atas piring, merasa tertarik dengan apa yang dikatakan perempuan yang ada di hadapannya itu. "Apalagi, kalau orang yang kita sayang itu, selalu ada di sekitar kita."

Dua kalimat, satu arti.

Cukup untuk membuat Atha merasa tertohok karena perkataannya.

Atha tak langsung menjawab. Ia hanya menatap sahabatnya itu dengan tatapan kosong. Pikirannya berputar untuk mencari jawaban yang tepat untuk menjawab perkataan sahabatnya itu. Ia tak ingin salah menjawab. Karena ini bukan hanya berhubungan dengan perasaan sahabatnya itu saja, melainkan berhubungan dengan perasaannya sendiri.

Atha menghela napasnya dalam, lalu mengembuskannnya perlahan. Berharap, apa yang dilakukannya itu bisa membuatnya merasa tenang, walaupun hanya sedikit. Di tatapnya sahabatnya itu sekali lagi, kali ini bukan dengan tatapan kosong seperti sebelumnya. Melainkan dengan tatapan yang sulit untuk diartikan oleh perempuan yang ada di hadapannya ini. Tanpa diduga lelaki itu menyeringai, lalu berkata. "Aku bakalan kasih tanggapan yang berarti, kalau kamu berhenti panggil aku 'kakak', gimana?" tanyanya sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

Leila memutar kedua bola matanya dengan malas. Bibirnya mengerucut sebal. "Okay, as you want, Atha. Untuk kali ini kamu menang. Aku bakalan panggil kamu Atha, nggak pake embel-embel 'kakak' lagi. Puas?" ucapnya defensif, yang malah membuat Atha terkekeh karenanya. "Eits.. Jangan seneng dulu. Kamu juga harus berhenti panggil aku Leila, okee? Kali ini nggak ada toleransi."

Bukannya menanggapi perkataan sahabatnya itu dengan perkataan atau anggukan yang berarti. Atha malah mengulurkan tangannya untuk mengacak-ngacak rambut sahabatnya itu, yang membuat bibir Leila mengerucut kembali atas sikapnya itu. Sambil berdeham kecil, Atha bertanya. "Kamu tahu nggak, kenapa move on itu susah?"

Leila melipat kedua tangannya di depan dada, keningnya berkerut. "Kenapa?" tanyanya, tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya yang begitu besar di hadapan Atha.

"Karena dari SD sampai sekarang, yang dipelajari itu mengingat dan menghapal, bukan melupakan," ucapnya, mendadak melankolis, yang malah membuat lawan bicaranya itu terkekeh geli saat mendengar perkataannya itu.

Leila tidak pernah menyangka orang sekaku Atha bisa berubah menjadi seorang yang melankolis bila berkaitan dengan perasaan seperti ini. "Aku nggak nyangka kamu bisa semelankolis ini," ucapnya menyuarakan apa yang ada di pikirannya tadi sambil menahan kekehannya agar tidak terlalu meledak di hadapan Atha.

Atha menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Kentara sekali bahwa dirinya sedang salah tingkah di hadapan sahabatnya itu. "Memangnya, dulu aku nggak melankolis kayak sekarang ini ya?" tanyanya.

Leila menggeleng. "Nggak, nggak sama sekali," ucapnya. "Dulu itu kamu orangnya kaku, terlalu serius dan nggak bisa banget diajak bercanda."

"Hm, begitu ya?" tanyanya, yang langsung diberi anggukan mantap oleh Leila. "Kalau sekarang, gimana?"

Leila menyeringai. "Mau jawaban jujur atau bohongan, nih?" tanyanya sambil menaik-turunkan kedua alisnya, persis seperti apa yang Atha lakukan beberapa menit lalu hanya untuk menggodanya.

"Jujur dong," ucap Atha sambil tersenyum lebar, tanpa memedulikan sikap sahabatnya itu yang tengah membalas menggodanya.

Melihat keantusiasan Atha yang tengah menunggu jawabannya, membuat Leila sedikit mengulur waktu untuk menjaili sahabatnya itu. "Kalau sekarang...," ia mengetukkan jari telunjuknya di dagu, "... mau tauuu ajaa!" ucapnya sambil tertawa keras tanpa merasa berdosa sedikit pun.

Kamu, Rasa, dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang