13: TENTANG RASA [2]

888 25 7
                                    


13 : TENTANG RASA [2]

Ketika seseorang sedang jatuh cinta, hati dan pikirannya sering sekali dipenuhi oleh orang yang ia cintai.

Ketika seseorang sedang jatuh cinta, kadang ia melupakan sesuatu yang paling penting dalam hidupnya.

Sesuatu yang dulu ia prioritaskan di masa depan, bisa tergantikan dengan orang yang ia cintai. Karena menurut sebagian orang yang sedang jatuh cinta, orang yang ia cintai itu harus menjadi prioritas utama, bukan prioritas terakhir.

Percaya atau tidak, tapi itu kenyataannya.

Dan itulah yang sedang dirasakan oleh dua orang manusia yang sedang di mabuk cinta seperti mereka. Auriga dan Leila.

Walaupun pada kenyataannya, mereka berdua telah menyakiti orang-orang di sekitar mereka tanpa mereka sadari.

Tapi logikanya, perasaan seseorang itu tidak bisa diatur, 'kan? Ia datang dengan sendirinya, tanpa bisa kita cegah. Ia masuk ke dasar hati yang paling dalam, tanpa bisa kita hindari. Karena perasaan itu ada, bukan untuk di cegah ataupun dihindari. Melainkan untuk diterima dan dijaga dengan sepenuh hati.

♥♥♥

Auriga melirik jam digital di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Hari ini, ia memang sedang ada jadwal untuk rekaman dengan kedua saudaranya di tempat biasa.

Tapi, entah karena ada angin apa atau emang terlalu kerajinan sekali. Ia sudah berada di studio dari jam lima pagi tadi.

Ia memang rajin sih, sebenarnya. Tapi jujur, ini baru pertama kalinya ia datang ke tempat ini sepagi ini. Tanpa terlambat sekalipun. Malah terlalu kepagian menurutnya.

Mungkin, gara-gara efek semalam juga kali ya. Maka dari itu, pengaruhnya bisa sampai separah ini. Hanya karena seorang perempuan, lagi. Perempuan yang baru semingguan lebih ini baru ia kenal.

Ia masih mengingat betul, percakapan terakhirnya dengan perempuan itu tadi malam.

Ia menghentikan nyanyiannya dengan satu tarikan napas. Lalu berdeham kecil sebelum membuka suara, "Gimana? Udah ngantuk belum? Atau malah, tambah bikin kamu nggak bisa tidur?" tanyanya bertubi-tubi.

"Suara kamu bagus. Bikin adem sama bakalan bikin aku tidur nyenyak malam ini, kayaknya," ucap perempuan itu sambil tertawa kecil.

Ia tersenyum, mendengar perkataan polosnya. "Kayaknya ya?" godanya jail. "Kemungkinannya cuma satu persen kalau gitu. Dan sembilan puluh sembilan persennya, bikin telinga kamu sakit," ledekku. "Dan menurutku, kamu malah tambah nggak bisa tidur gara-gara dengar suaraku tadi."

"Merendah amat sih, Mas," godanya. "Tapi emang suara kamu bagus kok. Seriusan."

"Jangan bohong ah, kalau cuma untuk bikin aku senang doang. Aku lebih suka jujur walaupun menyakitkan, daripada bohong tapi membuatku kegeeran."

"Aku nggak bohong," rajuknya. "Tapi, kalau dibandingin sama suaranya David Archuleta sih, suara kamu emang nggak ada apa-apanya," candanya sambil terkekeh kecil.

"Gitu?"

"Haha iya. Eh.. Nggak deng. Bercanda kok."

"Jadi iya apa nggak nih?" godanya.

"Apa, sih?"

"Bercanda kok, Neng," kekehnya.

"Oh, kirain.."

Kamu, Rasa, dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang