10: TENTANG RASA

1.3K 25 10
                                    

10 : Tentang Rasa

Sudah hampir setengah jam lebih Leila menunggu di Antologi Café--salah satu kafe ternama di Bandung yang merupakan tempat favoritnya dengan Arius saat bertemu, dulu. Tapi, orang yang ia tunggu belum sama sekali menunjukkan batang hidungnya, membuatnya kesal setengah mati.

Benar-benar nggak berubah, masih sama kayak dulu. dengusnya, dalam hati. Tukang ngaret!

Leila menarik napas dalam. Mulai merasa bosan kalau harus menunggu lebih lama lagi. Bukan apa-apa, masalahnya tempat ini adalah tempat kenangannya dengan Arius. Kalau ia kelamaan nunggu di sini, nanti ujung-ujungnya malah flashback lagi. Kan tidak lucu. Baru juga dua hari yang lalu ia dengan percaya dirinya bilang, "Udah ketemu orang yang bisa buat aku move on dari dia", pada Atha. Masa sekarang sudah berubah pikiran lagi? Walaupun sebenarnya, ia ke tempat ini juga untuk bertemu dengan lelaki itu, sih. Tapi 'kan, itu bukan berarti untuk mengenang kebersamaannya dengan lelaki itu seperti ini. Hanya untuk menepati janjinya dengan Arius. Itu saja. Tidak lebih.

"Udah nunggu lama?" tanya sebuah suara yang cukup familier selama hampir setahunan ini. Suara yang ia rindukan beberapa bulan ini. Arius.

Leila mengangkat wajah, menatap matanya sambil berkata, "Nggak lama kok. Baru juga setengah jam-an," ucapnya skeptis.

Bukannya merasa tersinggung karena perkataannya, Arius malah terkekeh karenanya. "Kamu nggak berubah ya, masih kayak dulu. Cewek jutek yang aku kenal," ucapnya sambil mengacak-ngacak rambutnya, seperti biasanya. Seperti dulu saat mereka masih berpacaran.

Leila mendengus. "Kamu juga nggak berubah. Masih kayak dulu. Cowok yang suka bikin aku kesal sama tukang ngaret!" balasnya, tak ingin kalah.

"Kamu ini, emang nggak pernah berubah ya. Masih aja nggak mau kalah. Sama kayak dulu, waktu kita masih--"

"Jangan bahas yang dulu-dulu, please," potongnya cepat, lalu melanjutkan kembali perkataannya saat melihat Arius akan membuka mulutnya untuk menjawab. "Aku emang nggak pernah berubah. Masih kayak dulu. Tapi perasaanku sama kamu aja yang berubah. Nggak sama lagi, kayak dulu."

Leila bisa melihat dengan jelas, lelaki itu terkejut saat mendengar perkataannya. Seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun beberapa detik kemudian, senyum lelaki itu terbit begitu saja di bibirnya. Senyuman tanpa beban, senyuman yang dulunya sangat ia rindukan.

"Kamu ini, emang nggak bisa banget bicara manis ya, sama aku? Jutek mulu perasaan," ucap Arius sambil menggelengkan kepalanya.

Leila mendengus. "Aku juga jutek 'kan, ada alasannya," ucapnya. "Lagian, kamunya sih, bikin aku kesal mulu."

"Iya deh, maaf," ucap Arius sambil tersenyum kecil. "Maafin Arius ya, Leila. Udah bikin Leila kesal mulu dari tadi," ia mengubah nada bicaranya seperti anak kecil, seperti apa yang sering ia lakukan dulu saat mereka masih berpacaran.

"Iya.. iya.. Leila maafin kok," ucap Leila sambil terkekeh geli.

Lagi-lagi, Leila bisa melihat senyuman yang tercetak di bibirnya. Kali ini bukan senyuman tanpa beban, melainkan senyuman manis yang selalu diperlihatkan lelaki itu kepadanya.

"Nah gitu dong, kamu 'kan, lebih cantik kalau lagi ketawa," ucap Arius, yang membuat wajahnya memerah seketika.

"Gombal!" ucapnya sambil mengembungkan pipi, berharap semburat merah itu segera hilang dari wajahnya.

Arius menyeringai. "Blushing, eh?" godanya, yang membuat wajah Leila semakin memerah dibuatnya.

"Kita belum pesan makanan lho, dari tadi." Leila berusaha mengalihkan pembicaraan agar lelaki itu bisa berhenti menggodanya. Walaupun sebenarnya ia tak begitu keberatan Arius menggodanya terus-terusan seperti itu. Tapi, kalau efeknya malah membuat wajahnya memerah seperti itu 'kan, tidak lucu sama sekali. Eh? Ia bilang apa tadi?

Kamu, Rasa, dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang