PROLOG

12.1K 220 40
                                    

Namanya Leila. Leila Shara. Orang-orang biasa memanggilnya dengan Lele. Pun, dengan sahabat-sahabatnya. Mereka terbiasa memanggilnya seperti itu, bukan berarti menganggap dirinya seperti ikan lele yang sering di makan Kiran-makanan yang menjadi favorit sahabatnya itu-melainkan karena permintaannya sendiri beberapa waktu lalu, saat dirinya memperkenalkan diri di depan kelas saat kelas sepuluh. Ia masih mengingat betul beberapa komentar teman satu kelasnya kala itu.

"Namanya unik, lucu kayak orangnya,"

"Dilihat dari mukanya sih, kayaknya bukan asli orang sini ya?"

"Mukanya enak dilihat. Tapi, namanya duh... susah buat di eja,"

Dari beberapa komentar yang didengarnya kala itu, yang paling di ingatnya adalah komentar yang dilontarkan salah satu teman satu kelasnya yang duduk di sudut kelas. Yang mengatakan kalau namanya, "susah buat di eja" itu, entah mengapa, terdengar menyebalkan di telinganya. Darahnya mendadak mendidih hanya karena komentarnya yang seperti itu. Kedua tangannya terkepal kuat di kedua sisi badannya. Ia sampai tak menyadari saat dirinya menanggapi komentar salah satu teman satu kelasnya itu dengan nada ketus saat mengatakannya.

"Kalau kalian merasa kesulitan panggil gue dengan panggilan Leila, kalian bisa panggil gue dengan panggilan Lele. Nggak masalah kok," begitu katanya, yang membuat keadaan kelas yang tadinya berisik menjadi hening dalam beberapa detik. Hingga terdengar suara tawa seseorang yang menggelegar, membuat keadaan kelas yang hening itu kembali berisik hanya karena tawa orang itu. Berpuluh pasang mata menatapnya dengan tatapan aneh bercampur ngeri saat melihatnya yang seperti itu. Sikap yang tak pernah orang itu tunjukkan saat tiga hari Masa Orientari Siswa lalu, sisi lain yang ditunjukkannya kala itu, menimbulkan beberapa pertanyaan di benak masing-masing teman-teman satu kelasnya.

Sementara itu, orang yang ditertawakan, Leila, menatapnya dengan tatapan sebal. Menambah kadar kesensitifannya semakin meninggi karenanya. Apalagi, saat orang itu mengeluarkan suaranya dengan pertanyaan yang lebih mirip seperti kalimat meremehkan yang ditujukkan kepadanya.

"Nama panggilan lo nggak ada yang bagusan dikit apa? Lo keabisan nyari nama panggilan lo atau gimana, sih? Sampe nama ikan aja, lo adopsi gitu," ucap orang itu dengan senyuman miring yang terpampang di bibirnya.

Orang yang menertawakannya disertai dengan kalimat meremehkan itu, adalah orang yang sama dengan yang memberi komentar menyebalkan yang didengarnya saat ia memperkenalkan diri tadi. Orang itu bernama Arius. Aquarius Andromeda.

Leila mendecak pelan sambil memutar kedua bola matanya dengan malas. "Terserah," ucapnya tak acuh sambil berlalu kembali ke tempat duduknya, berkebalikan dengan keinginannya untuk menyumpal mulut nyinyir lelaki itu dengan sambal kalau saja ia sedang berada di kafetaria. Sayangnya, ia sedang berada di dalam kelas saat ini. Dan itu berarti, ia harus meredam keinginannya itu dalam-dalam.

☆☆☆

"Lo habis pergi dari GHS?" tanya Atha kepada adik keduanya setelah Auriga itu, saat lelaki itu menutup pintu kamarnya.

Yang ditanya hanya mengangguk sambil melangkahkan kakinya ke ranjang king size-nya untuk merebahkan tubuh lelahnya sambil menumpukan kedua tangannya di bawah kepalanya sebagai bantalan.

Melihat raut kelelahan yang terpampang di wajah adik keduanya itu, membuat Atha membalikkan kursi yang di dudukinya untuk menghadap ranjang adik keduanya itu. "Ngapain?" tanya Atha lagi dengan kening berkerut.

"Menurut lo?" dengusnya sambil memutar kedua bola matanya dengan malas.

"Sekolah?" Atha masih berusaha menginterogasi adik keduanya itu tanpa memedulikan tatapan lawan bicaranya yang mulai jengah karena pertanyaan-pertanyaannya itu.

"Kalau gue bilang iya, lo mau apa?"

Atha mengedikkan bahunya. "Nggak apa-apa juga, sih. Tapi, kuliah lo gimana?"

"Yaa, nggak gimana-mana. Masih gue jalanin," ucapnya sekadarnya. "Lagipula, gue ngambil kelas malam kok. Jadi, nggak bakalan ganggu waktu sekolah gue."

"Oh yaudah. Terserah lo kalau gitu," ucap Atha sambil beranjak dari duduknya melangkahkan kakinya untuk ke luar dari kamar adik keduanya itu. "Tapi, kalau bokap sampai tahu. Lo sendiri ya, yang tanggung akibatnya."

"It's okay. Tenang aja. Gue bisa menanganinya sendiri kok, tanpa bantuan lo sedikit pun," ucapnya, yang membuat Atha mengukir senyum tipis.

"Baguslah," ucap Atha sambil menutup pintu kamar adik keduanya itu setelah mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya beberapa menit yang lalu.

☆☆☆

"Hai.. Sel, maaf ya, udah bikin kamu nunggu lama." Auriga mendekat ke arah kekasihnya untuk mengecup pipinya sekilas, lalu duduk di kursi di hadapannya. "Tadi aku habis ketemu dulu sama temen ngomongin..."

"Urusan band lagi, 'kan?" potong Sella cepat dengan tatapan yang menajam dan nada skeptis yang kentara yang tertangkap oleh telinganya.

Auriga tersenyum tipis, senyuman yang terlihat seperti dipaksakan. "Yaa, begitulah," ucapnya sambil mengedikkan bahunya. "Mereka mendadak ngajakin ketemuan buat ngomongin masalah itu, padahal mereka tahu kalau aku ada janji sama kamu hari ini."

"Oh begitu ya?" lagi-lagi Sella berkata skeptis. "Jadi ceritanya, kamu lebih milih buat ketemu mereka lebih dulu daripada sama aku yang jelas-jelas ngajakin kamu ketemu duluan?"

"Nggak gitu juga, Sel. Aku cuma berusaha memprioritaskan yang lebih penting dulu..."

"Jadi maksud kamu, ketemu sama aku itu nggak penting, begitu?" Sella lagi-lagi memotong perkataannya tanpa memberikan sedikit pun kesempatan untuk menjelaskan.

Auriga berdecak. "Nggak bisa ya, kamu kasih aku kesempatan sedikit saja untuk menjelaskan?" ucapnya dengan suara rendah namun sarat penuh emosi bagi siapa pun yang mendengarnya.

"Nggak bisa," ucap Sella cepat. "Aku nggak butuh penjelasan. Nggak butuh sama sekali," ucapnya lagi, penuh penekanan di setiap kata per katanya.

Auriga menatapnya tajam. "Kenapa?" tanyanya sambil mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, menahan amarah yang sudah bergejolak di dalam dirinya.

"Karena aku nggak mau dengar alasan yang sama tiap kali memberikanmu kesempatan untuk mengatakannya." Sella membalasnya dengan tatapan tak kalah tajam. "Aku bosan bertengkar terus sama kamu karena masalah yang sama. Aku bosan sama hubungan kita yang gini-gini aja. Aku bosan sama sikapmu yang lebih mementingkan urusan band nggak jelas kamu itu, daripada mementingkanku dan hubungan kita. Aku udah nggak tahan..."

"Trus, sekarang maumu apa?" tanya Auriga dingin, ia sudah tak bisa menahan amarahnya saat mendengar keluhan-keluhan yang keluar dari mulut perempuan itu.

"Aku mau kita putus."

Auriga menggeser kursinya untuk berdiri, ditatapnya perempuan itu untuk terakhir kalinya. "Dengan senang hati aku akan mengabulkannya." ia mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga perempuan itu. "Kita putus dan tidak usah menghubungiku lagi," ucapnya dingin dan berlalu tanpa memberi perempuan itu kesempatan untuk membalas perkataannya.

☆☆☆

Status: Edited

20/03/16

Kamu, Rasa, dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang