4: TENTANG ARIUS

2.8K 62 18
                                    

4 : Tentang Arius


Arius baru saja memutuskan sambungan teleponnya dari Leila--mantan yang sampai detik ini--masih tetap singgah di hatinya.

Tanpa disadarinya, kedua sudut bibirnya pun tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman jenaka yang hanya dimiliki oleh seorang Arius.

"Lo kenapa senyum-senyum sendiri kayak gitu? Nggak lagi gila, 'kan?" celetuk seseorang, yang tak lain adalah kakak keduanya setelah Atha, Auriga Aufa.

"Yakali," ucap Arius sambil memutar kedua bola matanya dengan malas. "Tumben lo ada di rumah jam segini?" tanyanya berusaha mengalihkan perhatian kakak keduanya itu.

Auriga mengedikkan bahunya cuek. "Nggak apa-apa, lagi pengin di rumah aja. Nggak ada kerjaan juga sih, di kampus. Makanya, gue gangguin lo," ucapnya sambil tertawa kecil.

"Dih, nggak ada kerjaan amat," dengus Arius pada kakak keduanya itu.

"Emang."

"Makanya, cari cewek sana. Biar lo ada kerjaan dikit. Betah amat lagian, jadi jomblo terus." Arius mencibir terang-terangan tanpa memedulikan reaksi seperti apa yang kakak keduanya itu akan berikan karena perkataannya itu.

Auriga mendengus, namun tak berlangsung lama. Dengusan itu tergantikan dengan seringaian kecil di bibirnya. "Mending gue jomblo. Daripada lo, yang ngakunya cuma cinta sama satu cewek, tapi malah main hati sama cewek lain. Ngerasa laku amat jadi cowok," ucapnya, yang membuat Arius mendengus karenanya. "Mending gue ke mana-mana lah, biarpun tampang playboy kayak gini, tapi hati hello kitty. Setia sama satu cewek, kurang apalagi dah, gue?" lanjutnya sambil menepuk-nepuk dadanya bangga, sikap yang tentu saja sangat berkebalikan dengan kepribadiannya selama ini.

"Lo nggak pernah sih, berada dalam posisi gue," dengus Arius tanpa menanggapi perkataan "narsis" kakak keduanya itu. "Coba kalau lo ada di posisi gue, pasti lo juga bakalan ngelakuin hal yang sama kayak gue."

"Seenggaknya, gue nggak bakalan nyakitin hati cewek yang sayang banget sama gue, cuma gara-gara satu cewek yang pengin merusak hubungan gue sama dia," ucap Auriga sambil menarik napas pelan. "Yah, walaupun gue tau, itu bukan kesalahan murni cewek kedua. Tapi, gue bakalan berpikir ulang lagi buat cari solusi yang benar-benar bisa memperbaiki hubungan gue sama cewek pertama. Walaupun pada akhirnya, gue harus nyakitin cewek kedua."

Perkataan Auriga membuatnya sedikit berpikir tentang kesalahan fatal yang dilakukannya empat bulan yang lalu. "Tapi, nggak adil dong. Kalau gue cuma memperbaiki hubungan gue sama cewek pertama, sedangkan gue harus nyakitin cewek kedua?"

Auriga tersenyum miring. "Sekarang gini deh, gue tanya. Lo lebih sayang sama yang mana, cewek pertama atau cewek kedua?"

Arius sedikit berpikir sambil menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Cewek pertama,"

"Kalau sama cewek kedua, sayang juga nggak?"

"Sayang juga sih, tapi rasa sayang gue sama dia, nggak sebesar rasa sayang gue sama cewek pertama."

"Pertanyaan kedua, saat lo memejamkan mata. Siapa yang lo lihat, cewek pertama atau cewek kedua?" tanya Auriga lagi, yang langsung mendapat tatapan 'pertanyaan-lo-kok-aneh-aneh-sih-Ga?' dari Arius. "Lo cuma perlu pejamkan mata lo, nggak usah banyak tanya. Kalau lo pengin tahu jawabannya, bisa?" tukas Auriga kemudian, tanpa ingin dibantah.

Tanpa membantah lagi, Arius pun akhirnya mengangguk. Dan memejamkan matanya, sesuai perintah kakak keduanya itu untuk melihat siapa yang ada di pikirannya saat ia melakukan hal itu.

Baru beberapa detik ia memejamkan mata, bayangan seorang perempuan sedang tersenyum ke arahnya menyambutnya kala itu yang membuat hatinya berdesir seketika. Senyuman perempuan itu mampu meluluhlantahkan hatinya. Senyuman yang sangat ia rindukan. Senyuman yang selalu ia rekam dalam memorinya. Senyuman yang tak pernah ia lupakan barang sedetik pun. Namun, tiba-tiba senyuman itu berubah menjadi senyuman kepedihan. Ia bisa melihat tatapan terluka dari perempuan itu. Ia juga bisa melihat tetesan-tetesan kristal bening yang berjatuhan dari pelupuk matanya ke pipinya. Membuat hatinya seakan teriris saat melihat perempuan itu menangis. Karena tidak kuat lagi melihat perempuan itu terus menangis karena dirinya, Arius pun perlahan membuka matanya.

Kamu, Rasa, dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang