Lucid Dream (part 8)
.
"Mm... mau apa?" Luna beringsut menjauh melihat Shan yang sudah bertelanjang dada.
Pemuda itu menyambar selimut yang telah disiapkan. Lalu menutupi tubuhnya dengan kain lebar itu. Tangan kirinya memegangi kedua tepi selimut di depan dada, sementara tangan kanannya dibiarkan bebas.
"Berdiri menghadap jendela!" Pemuda itu memberi perintah tanpa mempedulikan keheranan di wajah Luna.
Bingung, tapi Luna menurut. Dia berdiri di tengah ruangan di antara dua lilin yang berpendar. Menghadap ke arah jendela kamar tertutup tirai, sementara Shan berdiri tepat di belakangnya.
Apa yang akan dilakukan pemuda itu?
"Konsentrasilah," setengah berbisik suara Shan.
"Berkonsentrasi pada apa?" Luna menoleh.
Shan menghela napas.
"Pada ingatan terkuat yang kau miliki di kehidupan aslimu," jawabnya. "Dan ingat, apapun yang kau dengar nanti, jangan menoleh padaku lagi oke?"
"Kenapa?"
"Jangan menoleh." Shan tersenyum saat mengulang. Tapi ada ketegasan di wajahnya.
Luna mengangguk ragu, lalu kembali menatap tirai jendela.
"Pejamkan matamu, lalu mulailah berkonsentrasi." Terdengar suara Shan. Lalu dirasakan oleh Luna telapak tangan pemuda itu menyentuh bahunya.
Kemudian pikirannya mulai melayang, mengingat-ingat.
Ingatan terkuatnya ... saat pulang sambil menenteng plastik hitam, ternyata rumahnya dalam kondisi ramai. Dengan dada berdebar keras, dia menyelinap masuk. Merasa ada firasat buruk, dan memang benar.
Di sana, di atas ranjang, ibunya terbaring dengan mata terpejam. Pucat. Tak bergerak. Dikelilingi oleh Mbak Laras, tetangganya, juga yang lain.
Kelu, bibir Luna terkunci. Hanya bisa mendekap erat tubuh sang ibu. Melepaskan pelukan, hanya untuk memastikan ibunya masih bernapas. Tapi tak ada helaan napas, bahkan tak ada debar jantung di dada wanita yang melahirkannya itu.
"Bu, minum obatnya ..." bisik Luna, sambil tangannya mengguncang pelan.
"Ibu ... " panggilnya.
Ditatapnya lekat wajah sang ibu. Mengusap airmata yang mengalir semakin deras, lalu kembali memeluk tubuh yang mulai dingin itu.
"Ibu ..." bisiknya lagi. Dengan jemari mulai gemetar, "Ibu, bangun ... Luna bawa obatnya ..."
"Ibu ... Ibu ...!" Akhirnya dia mengguncang semakin keras. Bersama ketakutan yang menyergap. Takut sendirian, takut kesepian, dan takut ... tak punya ibu.
"Ibu ... jangan tinggalin Luna! Ibu jangan pergi ...!"
Histeris jeritan Luna.
Setetes airmata menitik di pipi Luna. Jemarinya menggenggam ujung baju yang ia kenakan. Sementara rasa panas mulai mengalir dari telapak tangan Shan.
Terdengar desis dari mulut pemuda itu. Seperti tengah merasakan sesuatu yang menyakitinya. Luna ingin menoleh, tapi teringat pesan pemuda itu. Akhirnya yang ia lakukan hanya mencoba semakin berkonsentrasi.
.
"Ini di mana?" Luna bertanya.
Di sampingnya, Shan yang bertelanjang dada menatap berkeliling.
Mereka berada di bawah langit malam. Di atas rerumputan basah. Tempat yang sungguh luas hingga kemana pun mata mengarah, tak terbentur oleh pembatas.
![](https://img.wattpad.com/cover/127028983-288-k173734.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream [COMPLETED]
FantasyTahukah kamu jika Lucid Dream punya beberapa tahapan? Jangan dipelajari terlalu jauh, karena pada tahapan akhir, itu akan cukup membahayakan jiwamu.