Bab 9

1.4K 162 9
                                        

Lucid Dream (part 9)

.

       Shan menepikan mobil ke sisi jalan. Lalu menatap mata Luna lekat. "Cobalah mengingat lagi, ini penting."

Luna menutup mata. Berpikir keras. Berusaha mengingat di mana rumahnya. Tapi bahkan bayangan bangunan rumah dimana mereka tinggal pun seperti semakin samar. Hanya terlihat ruang demi ruang yang berantakan. Terutama kamar sempitnya yang bersebelahan dengan gudang.

Bibinya berteriak. "Pergilah ke warung makan itu! Hanya berjarak 2 blok dari sini! Setidaknya ringankan bebanku memberi makan kalian!"

Terlintas bangunan rumah makan sederhana di sisi jalan. Tidak terlalu besar, tapi cukup ramai. Luna harus menahan rasa pegal mondar-mandir dari meja satu ke meja yang lain. Ramai. Setiap menit ada yang melambaikan tangan sambil berteriak meminta ini itu. Beberapa pemuda kurang ajar sengaja menggodanya dengan kerlingan nakal atau berusaha menepuk pantatnya gemas. Meskipun Luna berhasil mengelak, tapi itu sungguh menyakitkan.

"Ingat tulisan alamat yang kau baca. Atau kau pasti pernah menulis alamat rumahmu, kan?" Terdengar suara Shan sedikit menekan.

Luna membuka mata.

" ... aku benar-benar tidak ingat," keluh Luna. Mengetuk kepalanya pelan, masih berusaha berpikir tapi tetap saja yang terlintas hanya potongan-potongan samar.

Shan kembali menatap lurus ke jalanan. Jika saja yang dihadapi adalah makhluk-makhluk jahat tak kasat mata seperti yang terjadi selama ini, tentu akan lebih mudah.

Tapi ini adalah Nirani, sepupu angkatnya. Seorang gadis. Bagaimana pun, dia tidak bisa melawan wanita, apalagi jika mereka manusia nyata.

Manusia nyata yang tersesat dalam sebuah ambisi karena cinta. Yang bisa ia lakukan hanya berusaha menyadarkan dengan bicara. Atau mungkin sedikit memaksa dengan kekuatan terbatas. Jangan sampai ia membuat kesalahan dan akhirnya Nirani terjebak di alam mimpi untuk selamanya.

Sementara gadis ini ... mulai kehilangan ingatan tentang siapa dirinya.

Shan menghidupkan mesin mobil. Lalu meluncur pelan memutar kembali ke arah rumah mereka.

"Kita kembali?" tanya Luna heran.

"Ya, karena aku harus memasuki ingatanmu. Itu butuh persiapan, tidak bisa dilakukan di tempat ramai seperti ini." Shan menjelaskan dengan tenang.

"Kenapa?"

Pemuda itu menoleh padanya, lalu tersenyum hingga kedua matanya tampak hanya seperti garis, dengan lesung pipi menghias wajah orientalnya. "Karena aku akan berubah jadi begitu tampan, nanti gadis-gadis yang melihat akan berteriak, kyaaa oppaa Shan!"

Mata Luna membesar. Tidak menyangka pemuda berwajah dingin itu bisa bercanda juga. Lalu mereka berdua tertawa bersama.

"Mau dengar musik?" Shan menawarkan.

"Ya,"

"Suka musik apa?"

" ... Serenada."

***

       "Dari mana saja, Sayang?" Mama bertanya heran saat Luna baru saja memasuki rumah, "kenapa tidak jadi pergi bersama Ryu?"

"Umm ... aku ... ada hal penting bersama Shan tadi." Luna menjawab gugup.

"Ryu menunggumu."

"Menungguku?"

"Ya, dia sedang memainkan biola di taman sekarang," jawab mama, lalu menoleh ke arah taman melalui pintu kaca rumah mereka.

Lucid Dream [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang